Sabtu, 29 Maret 2014

Tanya ‘Wadha’a’

Sumber: himasal.lirboyo.net

didinmahardi.blogspot.com – Sudah jamak diketahui bahwa lafadh wadha’a adalah bagian dari bab tiga dalam Tasrif Amtsilati. Sejauh wawasan saya, dari dulu sampai sekarang, wadha’a adalah bagian dari bab tiga. Hingga wawasan itu harus harus porak poranda malam Ahad kemarin. Dalam mata pelajaran I’lal.

Kejadiannya bermula ketika seorang kawan bertanya “Kok lafadh maudhi’un (isim zaman wa makan dari lafadh wadha’a) nggak ada I’lalnya? Padahal, kalau diikutkan bab tiga seharusnya berbunyi maudho’un.”

Suatu pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya. Guru kami, Ust. Muchlishin, bahkan juga bingung menjawabnya.
Guru kami lantas berspekulasi. “Lafadh wadha’a ini, jangan-jangan sebenarnya masuk bab dua. Meskipun lam fi’il-nya berupa huruf halqi.”

Memang benar, jika dimasukkan ke bab dua masalah ini akan selesai. Tapi kemudian akan menarik masalah lain. Karena dalam deret tasrif amtsilati dari lafadh wadha’a hanya sighot masdar mim dan isim zaman wa makan-nya saja yang bermasalah. Selainnya normal.

Selain itu, jika kita menengok persyaratan lafadh-lafadh yang bisa dimasukkan ke dalam bab dua, kita akan menemukan bahwa dari binak mitsal wawi hanya yang lam fi’ilnya bukan berupa huruf halqi yang bisa dimasukkan ke dalam bab dua. Entahlah, sampai saat tulisan ini ditulis, saya belum menemukan jawaban dari masalah ini. (*)
 

Sabtu, 22 Maret 2014

Tirakat 2

Sumber: http://bang5.blogdetik.com

Lanjutan dari artikel Tirakat
didinmahardi.blogspot.com – Masih tentang tirakat!. Pernah suatu ketika salah seorang Guru saya, Pak Kholid Furqon berkata seperti ini, “iki jane rahasia mbah,, tapi tak dudohne kow. Tirakate bapak iku tibone neng putu. Nek tirakate ibuk iku tibone neng anak. Makane aku arep nggolek bojo sing penting gelem di ajak tirakat. Nggak perduli ayu opo ora.” Ini sebenarnya rahasia mbah,, tapi tak kasih taukan ke kamu. Tirakatnya ayah itu jatuhnya ke cucu. Kalau tirakatnya ibu itu jatuhnya ke anak. Makanya saya mau cari istri yang mau di ajak tirakat. Nggak perduli cantik apa enggak.

Ketika ucapan Guru saya itu saya sampaikan ke teman-teman saya, ada seorang teman yang nyeletuk, namanya Pandu. “Lho, emangnya nggak bisa tho nirakati diri sendiri?” Lalu saya jawab. “ Ya bisa, tapi hasilnya nggak sedahsyat kalau ditirakati oleh orang tua.”

Dan jawaban saya itu benar. Buktinya, pernah ada seorang teman saya yang mengalami sakit gatal-gatal. Sudah berbagai cara ia lakukan untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Tapi tetap tak kunjung sembuh. Lantas Ibu dari teman saya itu melakukan puasa senin kamis. Niatnya ya untuk nirakati anaknya itu. Pada puasa ke tujuh yang dilakukan ibu teman saya itu, penyakit yang diderita anaknya berangsur-angsur sembuh. Hilang tak berbekas. Betapa dahsyatnya do’a yang dipanjatkan seorang ibu untuk anaknya. (*)

Jumat, 21 Maret 2014

Tirakat

Sumber: muklason.wordpress.com

didinmahardi.blogspot.com – Bila Anda sering bergaul dan mencoba menyelami semangat spiritualitas kaum Abangan, tentu Anda akan sering menjumpai kata “Tirakat.” Sebenarnya tidak hanya kaum Abangan. Semua umat Islam dan mungkin juga pemeluk Agama lain saya rasa juga mengenal kata Tirakat. Seperti Mahatma Gandhi misalnya, beliau juga melakukan tirakat untuk meraih kemerdekaan bangsanya. Meskipun, mungkin di India sebutannya bukan Tirakat. Yang jelas jalan yang ditempuh hampir sama dengan yang dinamakan “Tirakat” di Indonesia.

Bila saya mengidentikan tirakat dengan kaum Abangan, itu karena memang menurut saya merekalah yang lebih dekat dan sering melakukan tirakat. Selain kaum Abangan, ada lagi kelompok yang juga sering melakukan tirakat. Mereka itulah kaum Pesantren. Terutama kaum Pesantren Tradisionalis.

Selasa, 11 Maret 2014

Makna ‘Minal ‘Aidiin Wal Faiziin’

Sumber: ibnuabbaskendari.wordpress.com

“Kamu tau nggak artinya Minal ‘Aidiin wal Faiziin?” Tanya Sufyan kepada Hudi sepulangnya kami dari Diniyah.
“Enggak” jawab Hudi.

“Aku tau” sahut saya.

Lantas saya menjelaskan arti dari Minal ‘Aidiin wal Faiziin tersebut. Tentu saja penjelasan saya ini hanya menurut pengetahuan saya yang notabenenya lebih memandang dari sudut Nahwu-nya.

“Dimulai dari orang-orang yang kembali suci dan orang-orang yang menang.” Begitu saya mengartikan pertanyaan sahabat saya di atas.

Saya mengartikan demikian, karena menurut saya lafad Min (Minal) dalam kalimat diatas adalah min ibtidak. Min yang berarti permulaan.

Sabtu, 08 Maret 2014

Asal Usul Dzikir; SubhanaLlah, wal HamduliLlah. . . .

Sumber: alhudamadrassa.wordpress.com

didinmahardi.blogspot.com – Cerita ini disampaikan oleh Pak M. Jamil, dosen mata kuliah Tauhid saya di semester empat ini. Nggak tau beliau dapat sumbernya dari mana.

Dalam khazanah dunia Islam, ada dikenal dzikir yang bunyinya seperti ini. Subhanallah wal hamdulillah, wa laa ilaha illallah, allahu akbar, wala haula wala quwata illa billah.

Dzikir tersebut tidak tercipta langsung komplit seperti itu. Tapi melalui proses yang lumayan panjang. Kemudian dirangkai satu per satu hingga membentuk wirid yang seperti itu.