Minggu, 17 Agustus 2014

"Bukan 350 Tahun Dijajah"



Judul di atas sengaja saya beri tanda petik. Karena judul tersebut memang benar-benar saya petik dari judul buku yang ditulis oleh G. J. Resink. Buku setebal 366 halaman ini segera menarik perhatian saya ketika sedang berjalan di pasar buku Shopping Yogyakarta. Meski harganya lumayan mahal untuk ukuran saya, tapi tak masalah. Sebanding dengan wawasan baru yang akan saya dapatkan. Menariknya, meski halaman buku ini tergolong tebal, tapi pembaca sudah akan mendapatkan gambaran umum dari buku ini ketika membaca pengantar yang ditulis oleh A. B. Lapian.

Setelah membaca buku ini, saya segera mendapat wawasan baru tentang Indonesia. Bahwa kita tidak pernah dijajah. Siapa bilang Indonesia dijajah selama 350 tahun? Bohong. Mitos belaka. G. J. Resink seorang sejarawan, ahli hukum internasional, yang sekaligus penyair memaparkan bahwa cerita tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun itu hanyalah konstruksi politik kolonial belaka. Kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan oleh politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial.
Belakangan cerita tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun semakin diperkuat dan diyakini sebagai kebenaran sejarah ketika Bung Karno dan pejabat politisi sering menggunakannya dalam pidato-pidato. Tak terkecuali para sejarawan. Ironisnya, pemerintah justru memasukkan cerita tentang penjajahan ini dalam kurikulum pelajaran sekolah-sekolah. Sampai akhirnya cerita ini diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut dalam masyarakat.

Padahal jika ditelisik, masih banyak kerajaan-kerajaan di Indonesia yang sama sekali tak terjajah oleh Belanda. Meskipun untuk itu, mereka harus berperang tiada habisnya. Contohnya seperti Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Hal ini dinyatakan sendiri oleh sebuah keputusan pengadilan tertinggi Belanda pada tahun 1871 yang berbunyi seperti ini:

“... tidak ada perjanjian atau persetujuan yang megakhiri kemerdekaan Kerajaan Goa dan menganggap wilayah Kerajaan Goa sebagai wilayah Hindia Belanda...”

Selain Kerajaan Goa, masih ada Kerajaan Kutai yang statusnya tidak masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkara pidana yang dilakukan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Kutai pada tahun 1904 yang dilakukan di dalam swapraja Gunung Tabur dan naik banding atas keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun perkara tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung karena yang bersangkutan adalah warga dari Kerajaan Kutai, jadi tidak termasuk wewenang pengadilan Hindia Belanda.

“... karena tersangka, selaku kawula Negara Kutai, tunduk kepada kekuasaan hukum Sultan dan para pembesar Negara Kutai dan kontrak dengan Kutai pun tidak membedakan apakah perbuatan pidana dilakukan di dalam atau di luar Kerajaan Kutai, sedangkan dengan sendirinya para kawula swapraja, menurut azas umum yang juga berlaku pada orang Pribumi, tetap tunduk kepada pembesar pengadilan negeri mereka dan juga demikian mengenai kejahatan berat yang dilakukan di tempat lain...”

Selain dua kerajaan di atas, masih ada beberapa kerajaan lagi yang kedudukannya merdeka. Sama sekali tidak tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya adalah Kerajaan Aceh. Sampai paruh kedua abad 19, Kerajaan Aceh masih eksis. Namun mereka tidak dapat melakukan hubungan dengan wilayah di luar mereka karena dihalangi oleh blokade yang dilakukan Belanda.

“... bahwa, karena sebuah blokade hanya terbatas dalam soal penutupan wilayah musuh, sedangkan Sungai Tamian adalah batas antara Kerajaan Aceh dang Langkat, jadi bila memberikan jalan untuk memasuki kedua kerajaan itu, tidak dapat dikatakan termasuk dalam wilayah yang terkena blokade....”

Data-data di atas baru menunjukkan kerajaan-kerajaan yang merdeka diwilayah Indonesia Tengah dan Barat. Bila diperinci, masih banyak wilayah-wilayah Indonesia Timur yang juga sama sekali tidak takluk terhadap Belanda. Dan hal itu diakui sendiri oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sebagai salah satu karya penting dalam bidang sejarah, tentu saja buku ini tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik tersebut berhubungan dengan solidaritas bangsa. Bahwa bila suatu daerah telah merasakan penjajahan, maka hendaknya dianggap sebagai penderitaan seluruh bangsa Indonesia. Namun, tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan solidaritas itu dapat dibalik. Bahwa selama ada satu daerah yang masih merdeka dan belum masuk wilayah Hindia Belanda, hendaknya kita lihat pula sebagai kemerdekaan bersama. Dalam rasa solidaritas dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing. (DPM)

Seri Antologi:
[1]  [2]  [3]  [4]  [5]  [6]  [7]  [8]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar