didinmahardi.blogspot.com – Ketika
menuliskan judul di atas, saya tidak berniat bersungguh-sungguh untuk mengajar.
Ini hanya semacam anjuran. Agar para pelajar lebih tau bagaimana memperlakukan
dan menempatkan ilmu-ilmunya. Dan nantinya dapat meraup manisnya ilmu.
Judul di atas sebenarnya adalah
terjemahan bebas dari “Ta’limul Muta’alim.” Benar-benar bebas, karena
sayalah yang menerjemahkannya (cuma menerjemahkan kata ta’limul muta’alim
saja dan tidak beserta isinya) dengan kemampuan bahasa Arab yang sangat
pas-pasan. Seorang Ahli menerjemahkan Ta’limul Muta’alim menjadi
“Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu” seorang lainnya menerjemahkannya menjadi
“Memberikan Tuntunan Kepada Penuntut Ilmu.” Judul-judul yang terlalu panjang
bukan? Akan lebih singkat jika saya tuliskan menjadi “Mengajar Pelajar.” Lebih
padat. Dan yang terpenting tidak melenceng dari yang dikehendaki susunan kata Ta’limul
Muta’alim.
Bagi orang-orang Pesantren, judul
Ta’limul Muta’alim mungkin sudah sangat familier. Di luar itu,
hanya segelintir orang yang mengenalnya. Padahal isi Ta’limul Muta’alim
sangat krusial. Terutama bagi para penuntut ilmu. Baik Ia pelajar,
santri, mahasiswa, dan semua orang. Karena, seperti kata Nabi, masa menuntut
ilmu dimulai sejak masih dalam buaian Bunda sampai ketika seseorang sudah
dimasukkan ke liang lahat.
Ta’limul Muta’alim adalah
judul sebuah kitab atau buku yang membahas tata krama. Khususnya tata krama
orang-orang yang menunut ilmu. Disusun oleh Syaikh Az Zarnujiy (Wafat 591 H/1195 M).
Seorang Ulama bermadzhab Hanafi yang hidup pada masa Bani Abbasiyah.
Fakta bahwa Ta’limul Muta’lim
masih dikenal luas dan dipelajari hingga sekarang, menunjukkan betapa urgen-nya
isi kitab ini. Meskipun belakangan muncul orang-orang yang mengkritik dan
mempertanyakan relefansi Ta’limul Muta’alim dengan pendidikan
masa kini. Hal seperti itu wajar saja. Mengingat Ta’limul Muta’alim
adalah karya ilmiah. Namun selama isi kandungan Ta’limul Muta’alim tidak
bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, apa salahnya untuk dikaji,
direnungkan, dan kemudian diamalkan.
Dalam sambutan yang ditulis Moh.
Tolchah Mansoer terhadap terjemah Ta’limul Muta’alim karya Drs. H. Aliy
As’ad, beliau mengungkapkan hal menarik dalam kitab Ta’limul Muta’alim.
Dalam salah satu bagiannya, pengarang Ta’limul Muta’alim mengutip ucapan
Imam Abu Hanifah tentang memulyakan ilmu dan ahli ilmu. “Buatlah besar
serban-serbanmu, dan lebarkanlah lengan bajumu.” Ucapan Imam Abu Hanifah yang
demikian itu dimaksudkan agar ilmu dan ahli ilmu tidak dianggap remeh.
Ternyata ucapan Imam Abu Hanifah
yang sudah berabad-abad lalu itu, kini dipraktekkan oleh dunia universitas.
Terbukti dalam beberapa upacara ilmiah, para dosen maupun guru besar sering
tampil dengan memakai toga. Baju panjang (jubah) hitam yang berlengan lebar.
Begitu juga mahasiswa yang sudah tamat masa belajarnya. Maksudnya, tentu saja
agar lebih kentara wibawa ilmiyahnya. Meskipun, tak jarang juga yang sorbannya
besar atau memakai toga segala macam, toh ilmunya biasa saja. (DPM)
Ponorogo, 30 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar