Sumber gambar: wisatayogyakarta.net |
didinmahardi.blogspot.com – “Wes
ngerti dalan peteng, kok panggah dilewati to nduk....” Sudah tau jalan
gelap, kok masih dilewati to nduk (nduk: sapaan untuk anak perempuan). Ucap Ibu
Nyai Sepuh (Istri Almarhum KH. Hasyim Sholeh) ketika seorang kawan saya pamit
untuk melanjutkan kuliah ke Jogja.
Ucapan Ibu Nyai yang seperti itu
bukan tanpa alasan. Ada sabab musababnya. Ceritanya bermula ketika suatu hari
pada bulan Ramadhan, KH. Hasyim Sholeh dipanggil oleh Kyai Hamim Jazuli (Gus
Miek) untuk pergi ke Jogja. Diajak ketemuan disalah satu Masjid.
Sesampainya di Jogja, Mbah Hasyim
langsung menuju ke Masjid yang telah ditentukan tersebut. Dan karena tidak
menemukan Gus Miek di Masjid tersebut, Mbah Hasyim lantas mencari Gus Miek
dengan membuka kamar-kamar yang ada di sekitar Masjid (mungkin kamar kos).
Alangkah kagetnya, ketika membuka kamar-kamar tersebut, Mbah Hasyim menemukan
pasangan laki-laki dan perempuan. Hampir disetiap kamar. Padahal saat itu masih
dalam bulan Ramadhan.
Karena itulah, lantas muncul
semacam larangan tidak tertulis yang menyatakan bahwa Santri PP. Darul Huda
Mayak dilarang melanjutkan kuliah ke Jogja atau ke Surabaya. Entahlah, mungkin
karena tidak tegasnya bentuk larangan tersebut, lantas masih banyak saja
santri-santri yang melanjutkan kuliahnya ke Jogja. Termasuk saya hehe....
Bahkan Gus Alwi Fuadi, dan Gus Fairuz yang masih tergolong kerabat KH. Hasyim
Sholeh juga melanjutkan kuliahnya ke Jogja.
Anggapan bahwa Jogja adalah jalan
gelap sebenarnya tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Meskipun juga tidak
bisa dikatakan sepenuhnya salah. Setelah empat semester merasakan atmosfir kota
Jogja, saya jadi tahu plus dan minus-nya kota ini.
Sebagai kota pendidikan, tentu
saja Jogja tidak mengabaikan hal-hal yang mendukung kegiatan pendidikan.
Perpustakaan-perpustakaan, toko buku, majlis-majlis diskusi, seminar ini
itu, sudah menjadi hal yang lumrah di Jogja. Dan itulah yang menjadi keunggulan
Jogja. Selain itu, sebagai kota yang didalamnya terjadi akulturasi budaya,
Jogja juga menjadi tempat tumbuh subur dan berkembangnya rasa tenggang rasa
dengan baik. Dan rasa tenggang rasa ini, jika diterapkan dalam ranah Agama,
khususnya Islam, bisa menjadi kawah candradimuka-nya Islam yang rahmatan
lil ‘alamin.
Namun, kita juga tidak boleh
memandang Jogja hanya dari satu sisi. Dengan dikenalnya Jogja sebagai kota
pendidikan dan budaya, tak heran jika setiap tahun banyak sekali pendatang yang
masuk ke Jogja. Kebanyakan dari mereka memang mahasiswa. Sebagian yang lain
wisatawan.
Wisatawan yang datang mengharap
hiburan dan mahasiswa yang notabenenya adalah pemuda, tentu saja menjadi lahan
rizki tersendiri bagi penduduk yang tinggal di Jogja. Tak heran jika kemudian
bertebaran tempat-tempat hiburan. Ironisnya, tempat-tempat hiburan tersebut
lebih banyak memberikan efek negatif daripada positifnya. Meskipun tak sedikit
juga mahasiswa yang menggunakan tempat-tempat tersebut sebagai wahana diskusi
mereka. Cafe-cafe misalnya.
Mengetahui plus dan minus kota Jogja, membuat saya tak bisa menyalahkan begitu saja ucapan Ibu Nyai Sepuh yang seperti itu. Meskipun saya akui, ada sebagian kecil teman-teman kami yang sudah di black list dari grup Alma Jogja (kepanjangan dari Alumni Mayak Jogja. Merupakan organisasi alumni PP. Darul Huda Mayak di Jogjakarta). Penyebabnya tentu sudah dapat ditebak. Selain karena tdak pernah aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Alma Jogja, kelakuan mereka dirasa sudah terlalu jauh melenceng dari Syariat dan Akhlak Santri. Maka jika sesepuh Darul Huda melarang alumninya melanjutkan pendidikan ke Jogja, itu mungkin dimaksudkan sebagai "sedia payung sebelum hujan". (DPM)
Ponorogo, 26 Juni 2014
Selalu... bisa manggut2 kalo baca tulisane mas didin :) joz
BalasHapushaha,, makasih mas,
Hapus