Sumber: http://elgozaly.wordpress.com |
didinmahardi.blogspot.com –
“Melihat
guru itu pahalanya sama dengan melihat Nabi Muhammad.” Kalimat tersebut
pertama kali saya dengar dari Guru Ngaji saya, Ust. Syamsul Ma’arif ketika saya
masih SD di Kalimantan Tengah.
Sejak saat
itu, ketika ngaji atau sekolah, saya selalu menyempatkan diri untuk curi-curi
pandang melihat guru saya. Tentu saja saya tak berani memandang langsung dan
terus menerus. Karena dalam pandangan saya, seorang guru memiliki aura
tersendiri dan wibawa tertentu yang membuat saya (dan mungkin juga murid-murid
lainnya) segan untuk bertatap mata langsung.
Selain segan,
juga ada perasaan takut jika dianggap tidak sopan atau berani melawan guru.
Karena saya berfikiran bahwa tidak semua guru mengetahui ujar-ujar yang
diungkapkan Ust. Syamsul Ma’arif di atas. Jangankan guru yang belum tau, yang
sudah taupun kadang-kadang bisa lupa.
Pernah suatu
ketika saya ditegur kerena memandangi seorang guru saya yang sedang menjelaskan
isi buku Faraidul Bahiyah. Disaat teman-teman yang lainnya menunduk ta’dzim.
“Murid itu macam-macam, ada yang suka memandangi gurunya. Entah karena apa,
mungkin karena suka pada gurunya atau sebab lainnya. . . .” ucap guru saya dengan
tersenyum dan sedikit bergurau. Saat itu, mungkin teman-teman mengira kalimat
guru saya itu tidak ditujukan pada siapa-siapa. Hanya sekedar memberi informasi
atau pengajaran. Tapi saya yakin bahwa kalimat itu ditujukan kepada saya.
***
Bertahun-tahun
saya meyakini kalimat yang disampaikan Ust. Syamsul Ma’arif tersebut. Tak
pernah terbersit sedikitpun dihati saya untuk meragukan kalimat tersebut.
Apalagi menganggapnya suatu kebohongan atau mengada-ada.
Hingga
pada suatu hari, dalam perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan pengurus OSIS
di Madrasah Aliyah (saat itu saya kelas dua Aliyah, kayaknya), saya
mendengar lagi kalimat yang serupa. Kali ini malah lebih valid.
Kalimat
tersebut disampaikan oleh Gus Ashfin ‘Abdurrahman, yang saat itu mengisi Mauidzoh
Hasanah. Di tengah-tengah Mauidzoh Hasanahnya, Gus Ashfin mengutip
Hadits Kanjeng Nabi. “Man roani dakhola jannah. Wa man roa man roani ila
yaumil qiyamah, dakhola jannah.” Siapa yang melihatku pasti masuk surga.
Dan siapa yang melihat orang yang melihatku sampai hari kiyamat, pasti masuk
surga.
Jika diruntutkan,
orang-orang yang pernah melihat Kanjeng Nabi pertama-tama adalah para sahabat. Kemudian
para tabi’in yang belajar kepada para sahabat. Kemudian para tabi’ut
tabi’in. Kemudian para ulama yang belajar kepada tabi’ut tabi’in, dan
seterusnya. Turun temurun hingga sampai kepada guru-guru kita.
Hadis di atas
saya artikan “. . . pasti masuk surga,” bukan tanpa alasan. Karena (meskipun
masih dangkal) saya memahami gramatikal bahasa Arab. Khusunya Ilmu Nahwu dan
Shorof.
Dalam ilmu shorof,
ada dikenal istilah fi’il madhi (kata kerja untuk masa yang lampau) dan fi’il
mudhri’ (kata kerja untuk masa sekarang dan akan datang). Contoh dari
masing-masing fi’il tersebut adalah kata dakhola, yadkhulu.
Jika diaplikasikan
pada hadis di atas, seharusnya Rasulullah mengucapkan “Man roani yadkhulu
jannah. . . .” yang artinya “siapa yang melihatku akan masuk surga.” Tapi kenyataannya,
Rasulullah justru menggunakan kata dakhola yang artinya ‘telah’. Fi’il
Madhi (kata kerja masa lampau) jika digunakan untuk menunjukkan kejadian
yang akan datang (istiqbal/fi’il mudhori’) maka artinya akan menjadi ‘pasti.’
WaLlahu a’lam. (*)
ngapunten mas.... hadist diatas boleh minta riwayat dari mana?
BalasHapusHadist dari imam hasan al basri..gurunya guru
BalasHapusPenghulu sebelum lahirnya imam bukhori muslim maupun imam abu hanifah imam malik