ARUS BALIK – Sebuah
epos pasca
kejayaan Nusantara
sebagai
kekuatan dan kesatuan
maritim
pada awal abad 16.
Semasa jayanya
Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan
kerajaan laut
terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi.
Arus bergerak dari
selatan ke utara, segalanya:
kapal-kapalnya,
manusianya, amal perbuatannya, dan cita-citanya,
semua bergerak dari
Nusantara di selatan ke “Atas Angin” di utara.
Arus berbalik – bukan
dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari
utara ke selatan.
Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan
Nusantara...
Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan
menjadi bagian dari
Jawa yang beruntun tiada hentinya.
Wiranggaleng – pemuda
desa sederhana, menjadi tokoh protagonis dalam
epos kepahlawanan
yang maha dahsyat ini. Dia bertarung sampai ke pusat
kekuatan Portugis di
Malaka, memberi segala-galanya – walau hanya
secauk pasir
sekalipun – untuk membendung arus utara.
Masih dapatkah arus
balik membalik lagi?
Sebuah sinopsis novel yang
menarik bukan?. Yap. Tulisan di atas adalah sinopsis sebuah novel karangan
Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik. Sebuah novel yang ditulis dalam masa
penahanannya di Pulau Buru, 1969-1979. Karena gejolak politik kekuasaan saat
itu, novel ini baru bisa diterbitkan pada tahun 1995. Dalam rangka memperingati
Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-50.
Melihat pada tahun ditulisnya
novel ini, tidak heran jika bahasa yang digunakan terasa agak asing. Terasa
kurang mengalir. Tidak renyah. Namun, itu semua tidak menghalangi sari-sari
yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Tampaknya memang sudah menjadi ciri
khas Pram untuk menampilkan sosok yang tidak menonjol. Pemuda desa misalnya.
Selain itu, dalam novel ini kita
dapat meikmati alur yang disampaikan Pram dengan adil. Tidak memihak. Terasa disampaikan
apa adanya. Siapapun bisa menjadi penjahat dan pahlawan. Tidak memandang agama
maupun kedudukan.
Begitulah! sedikit gambaran yang
dapat saya sampaikan mengenai novel dengan judul Arus Balik itu. Lebih jelasnya
silahkan baca sendiri. Saya yakin, ketika anda sudah membaca novel tersebut,
anda akan mendapatkan gambaran-gambaran baru yang berbeda.
***
Tentara Majapahit. Sumber: http://www.crwflags.com |
Pada halaman-halaman awal novel
ini, Pram menceritakan tentang kebesaran Majapahit. Membuat pembaca terlena dan
turut bangga. Bahwa pernah ada kerajaan yang demikian besarnya di Negeri ini. Iring-iringan
kapal Majapahit dengan bendera merah putihnya, selalu disegani lawan maupun kawan.
Namun mendadak Ia membuyarkan kebanggaan kita melalui lidah Rama Cluring. Tokoh
dalam novel tersebut.
Orang tua itu mulai bercerita
tentang negeri-negeri jauh yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang
kebesaran-kebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai. Dan ia
menyentakkan mereka dengan lidah parangnya: “Ha! Mengantuk kalian terayun oleh
keenakan-keenakan masa-lalu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga
diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggan itu bukan hak kalian. Bahkan
membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!”.
Mak jleb...!!! ketika membaca paragraf
itu, mendadak saya merasa malu. Sudah terlalu lama kita terbuai dengan
kebesaran-kebesaran masa lalu. Dan hanya kebesaran itu saja yang kita lihat. Tanpa
pernah menelisik apa yang mereka lakukan untuk mencapai kebesaran itu. Sudah saatnya
kita sadar kawan. Kebesaran yang pernah kita miliki pada masa lalu itu kini
tinggallah sejarah. Cukuplah kita tahu bahwa kita pernah besar. Dan biarlah
kebanggaan akan kebesaran itu menjadi milik mereka-mereka yang membangunnya. Sudah
saatnya kita membangun sejarah kita sendiri.
***
Lebih jauh membaca novel ini,
saya menjadi sadar. Novel ini tidak akan berakhir dengan kemenangan yang
gilang-gemilang. Namun saya tetap menikmatinya juga. Dan saya rasa bukan hanya
saya yang tetap bisa menikmatinya. Meskipun sudah tau akan endingnya. Dengan kata
kata lain, sebenarnya novel ini bercerita tentang kesia-siaan. Kecuali jika
buku sejarah harus dirubah.
Bahwa ternyata novel ini tetap
memikat para pembaca, mungkin ada sesuatu yang luput kita perhatikan. Bahkan mungkin
tidak kita sadari. Kualitas jagoan justru tidak menarik dari segi
keberhasilannya. Mungkin sukses hanyalah sebuah anti-klimaks. Bahkan hasil
samping. Ke-jagoan bisa sepenuhnya berarti ikhtiar yang habis-habisan,
titik. (DPM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar