Sumber gambar: innomuslim.com |
didinmahardi.blogspot.com – Sebenarnya
sudah lama saya ingin menuliskan artikel ini. Tapi terkendala banyak kendala.
Kendala yang paling besar terletak pada tidak adanya referensi untuk memperkuat
artikel ini. Meskipun sebenarnya bisa saja saya menuliskan artikel tanpa
referensi. Karena banyak juga penulis-penulis tersohor yang menulis tanpa
referensi. Bahkan ulama-ulama muslim banyak juga yang menuliskan karya-karyanya
tanpa referensi.
Tapi tetap saja saya merasa perlu
untuk membubuhkan referensi. Hal itu tentu saja karena status saya yang selain
santri juga merupakan mahasiswa. Dan sebagai mahasiswa, tentu saya juga harus
bersikap layaknya mahasiswa. Segalanya serba akademis. Termasuk jika menuliskan
artikel.
Dan akhirnya, dengan terpaksa
saya harus gigit jari. Referensi yang saya cari-cari tidak kunjung ketemu.
Sudah banyak cara saya tempuh untuk mengais referensi ini. Mulai dari
tanya-tanya temen, sampai tanya Mbah
Google. Dari temen-temen cuma diberi kalimat seperti ini “iya, saya pernah
denger itu. Tapi lupa dimana.” Dari Mbah
Google sebenarnya ada, tapi kurang memuaskan.
Daripada menunggu sesuatu yang
tak jelas dan tak kunjung didapat, akhirnya saya tuliskan juga artikel ini.
Meskipun tanpa referensi yang gamblang. Siapa tahu ada sahabat-sahabat pembaca
yang tahu referensinya dan berkenan berbagi dengan saya. Karena barang siapa
yang menyembunyikan ilmu Ia dijauhkan dari rahmat tuhan.
Artikel yang ingin saya tulis itu
berkaitan dengan perbedaan pandangan mengenai kesunahan mengacungkan jari
ketika tasyahud. Saya tidak tahu bagaimana di negara lain. Tapi setahu saya, di
Indonesia terdapat dua perbedaan yang mencolok.
Ada yang berpendapat ketika
bacaan tasyahud seseorang sampai pada
lafadh asyhadu alla ilaha illallahu maka disunnahkan untuk
mengacungkan jari. Dan cukup hanya mengacungkan jari saja. Tidak perlu ditambah
gerakan-gerakan lainnya.
Sedangkan pendapat yang lainnya
mengatakan, bahwa mengacungkan jari telunjuk saja tidaklah cukup. Melainkan
harus disertai pula dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut.
Sebenarnyalah inspirasi untuk
menulis artikel ini tidak muncul begitu saja. Ada sebab pemicunya. Dan pemicu
tersebut muncul ketika saya mengaji kitab Al
Amtsilatut Tashrifiyyah. Sebuah kitab yang dikarang oleh ulama kita sendiri.
Kyai Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Kwaron Jombang Jawa Timur. Seorang ulama
yang tidak begitu dikenal meskipun karyanya sudah mendunia.
Bahkan, seperti apa potret
beliaupun mungkin hanya diketahui oleh keluarga beliau sendiri. Diluar itu
tampaknya tidak ada dokumentasi tentang beliau. Hal ini wajar saja. Karena
sebelum meninggalnya Kyai Muhammad Ma’shum membakar satu-satunya potret beliau.
Sampai saat ini tidak diketahui apa motifasi beliau membakar potret beliau itu.
Dalam kitab Al Amtsilatut Tashrifiyyah ada bab yang judulnya seperti ini, Al Babul Awwal Minast Tsulatsiyil Mazid.
Bab ini menerangkan tentang sebuah kata dasar dalam bahasa arab yang ditambahi tasydid. Meskipun hanya menambah tasydid, namun hal itu sudah cukup untuk
merubah makna dari dasar kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ketika suatu
dasar kata dalam bahasa arab ditambah tasydid, maka ia akan memiliki lima makna
alternatif.
Lima makna alternatif tersebut
masing-masing adalah:
1.
Lit
Ta’diyyah
2.
Lid
Dilalati ‘alat Taktsiri
3.
Linisbatil
Maf’uli ila Ashlil Fi’li
4.
Lisalbi
Ashlil Fi’li minal Maf’uli
5.
Lit
Tikhodil Fi’li minal Ismi.
Tentu saja saya tidak akan
menerangkang masing-masing dari lima alternatif makna tersebut. Saya hanya akan
menerangkan alternatif makna yang berkaitan dengan masalah perbedaan pandangan
di atas. Dan yang berkaitan dengan hal itu hanya alternatif makna nomer satu
dan nomer dua.
Seperti yang sudah saya bahas di
atas. Bahwa ada dua perbedaan pandangan mengenai mengacungkan jari telunjuk
ketika duduk tasyahud akhir. Sebenarnyalah
kita tidak perlu merisaukannya.
Pendapat pertama yang mengatakan
bahwa ketika kita membaca tasyahud
akhir disunahkan untuk mengacungkan jari saja. Dan tanpa ada gerakan lain lagi.
Sebenarnya pendapat ini mengikuti alternatif makna yang nomer satu. Lit ta’diyyah. Mengubah fi’il lazim (kata kerja yang tidak
membutuhkan objek) menjadii fi’il
muta’adi (kata kerja yang membutuhkan objek).
Konon katanya hadits yang menunjukkan tentang
mengacungkang jari ketika tasyahud ini berbunyi yuharriku. Saya mengatakan ‘konon’, karena hadits ini sudah saya cari-cari dan belum ketemu. Teman-teman
sampai Mbah Google pun sudah saya
tanyai. Namun semuanya tidak ada yang memberikan jawaban memuaskan.
Lafadh yuharriku tersebut tepat sekali jika dimasukkan dalam bab Al Awwal Minats Tsulatsiyil Mazid. Tepat
karena ada penambahan tasydid pada
kata ini. Asal kata dari yuharriku
adalah yahriku. Ketika ditambah tasydid maka kata yahriku tersebut akan memiliki setidaknya satu dari
alternatif-alternatif makna di atas.
Lafadh yahriku sendiri awalnya adalah merupakan fi’il lazim (tidak membutuhkan objek). Contohnya: yahriku zaidun. Zaid sedang bergerak.
Ketika lafadh yahriku ditambahi tasydid maka maknanya akan berubah. Dan
jika kita melihat pada alternatif makna nomer satu, contohnya akan menjadi
seperti ini. Yuharriku zaidun yadahu.
Zaid menggerakkan tangannya (ada objeknya). Dan alternatif makna nomer satu
inilah yang dijadikan landasan oleh orang-orang yang berpendapat dengan cukup
menggerakkan (mengacungkan) jari telunjuk saja ketika tasyahud. Tanpa ditambahi dengan menggerak-gerakkannya.
Sedangkan pendapat kedua, yang
mengatakan tidak cukup hanya dengan mengacungkan jari saja, melainkan juga
harus disertai dengan menggerak-gerakkannya, mereka mengikuti alternatif makna
yang nomer dua. Lid dillalati ‘alat
taktsiri. Untuk menunjukkan makna banyak. Untuk contohnya, kita masih bisa
menggunakan contoh yang pertama. Yuharriku
zaidun yadahu. Zaid menggerak-gerakkan tangannya.
Dan sudah jelaslah akar
permasalahan yang melandasi perbedaan tersebut. Yakni memang berbedanya
landasan yang digunakan. Dan sudah selaknyalah bagi kita untuk tidak terlalu
memperuncing perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus menjadi fokus kita saat
ini adalah justru mencari titik-titik temu dari masing-masing perbedaan
tersebut. Dan seandainya tidak kita temukan titik temu, maka kita masih bisa
untuk menyikapi perbedaan sebagai sesuatu yang fitri. Bahkan sebagai rahmat
(kasih sayang) yang diberikan Tuhan. Al
khilafu baina ummati rahmatun. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.
Begitu sabda Nabi ‘alaihis sholatu
wassalam. (DPM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar