Kalisat-Ponorogo, 05/05/14
Usiaku baru delapan tahun ketika
untuk pertama kalinya aku mencicipi batang-batang yang dibakar itu. Ketika
mencicipi untuk pertama kalinya, rasanya akan menyesakkan dada. Kepala rasanya
juga akan sedikit pusing-pusing. Namun ketika diteruskan, akan ada kesegaran
yang menyeruak. Melewati tenggorokan dan langsung menuju paru-paru. Ahh, , ,
sungguh membuat ketagihan.
Sumber gambar: http://mentoring98.wordpress.com |
Apalah yang bisa dipikirkan oleh
bocah usia delapan tahun. Bahkan membedakan mana hal yang baik dan mana hal
yang burukpun belumlah terlalu bisa dijamin keabsahannya. Yang diketahuinya
hanyalah bahwa batang yang dibakar ujungnya itu rasanya enak. Segar.
Dan sejak saat itulah aku mulai
ketagihan terhadap batang-batang nikmat itu. Begitu ketagihannya, bahkan sampai
aku mengkonsumsi batang-batang itu melebihi teman-temanku. Untuk mendapatkan
batang-batang itu, tidaklah harus selalu dengan membeli. Meskipun terkadang aku
menyisihkan uang pemberian orang tuaku untuk membeli batang-batang itu. Pernah
sekali waktu aku mengambil beberapa lembar uang yang disimpan ibuku.
Selain membeli sendiri dari uang
yang kupunya, tak jarang aku juga mendapatkannya dari orang-orang terdekat.
Orang-orang tua yang kukenal, teman-teman, terkadang malah mengais sisa-sisa
batang tersebut dari asbak. Betapa batang-batang itu telah menjadi candu.
Aku sudah tujuh belas tahun
menghisap batang-batang nikmat itu. Ketika usiaku dua puluh lima tahun. Ketika
untuk pertama kalinya aku merasakan ada perubahan pada bentuk fisikku.
Ketika sesekali kupandang tubuhku
dicermin, kulihat bahwa bentuk punggungku lebih membungkuk. Berat badankupun
kurasa mulai menurun. Terlihat dari tonjolan-tonjolan tulang yang dulu tak
terlihat.
Kurasakan, kekuatankupun mulai
memudar. Mudah lelah. Bukan karena faktor usia, karena usiaku masih muda. Masih
dua puluh lima tahun.
Dada yang dulu selalu merasakan
kesegaran, kini kurasakan mulai sering teras sesak. Juga ada rasa nyeri yang
mengganggu.
Malam-malam yang biasanya kulalui
dengan nyenyak, kini lebih sering diganggu dengan cucuran keringat. Padahal aku
hidup dikampung. Suasananya masih bersih. Kesegaran udaranyapun terjamin. Maka
adalah aneh jika malam-malamku sering kulalui dengan cucuran keringat. Bukankah
dengan kondisi kampung yang seperti ini, aku seharusnya justru merasa
kedinginan?. Bukan keringatan.
Dan selayaknya penduduk kampung
yang tak terlalu peka dengan kesehatan, kubiarkan saja gejala-gejala itu
menghampiriku. Toh aku masih bisa beraktifitas. Hanya saja sekarang lebih sering
merasa lelah. Aku tak perduli.
Hingga akhirnya aku mengalami hal
itu. Batuk-batuk yang juga mengeluarkan darah. Baru aku menyadari bahwa jarak
hidupku dengan liang kubur bagaikan hanya tinggal satu jengkal. Pengobatan-pengobatan
yang dilakukan oleh dukun kampung kami tidak berhasil. Gagal.
Ironisnya, sampai saat ini aku
belum mengetahui penyebab penyakitku itu. Dasar orang kampung. Kuhabiskan saja
hari-hari penantianku akan datangnya malaikat maut dengan tetap menikmati
batang-batang nikmat itu.
Hingga pada suatu malam. Tepatnya
mungkin bukan suatu malam. Tapi malam yang akan menjadi malam terakhirku. Aku
merasakan ada sesuatu yang berdesir diluar pintu rumahku. Mungkin itu dia.
Orang yang diutus Tuhan untuk menjemputku. Malaikat Maut.
Kulangkahkan kakiku menuju pintu
itu. Dengan langkah yang sengaja kutegar-tegarkan. Karena meskipun usiaku
sebenarnyalah masih muda, namun penyakit mematikan itu telah menyebabkan aku
menjadi renta. Bagai lebih renta dari orang-orang tua. Aku siap menghadap
Tuhan. Apapun resikonya. Kusadari sepenuhnya, aku bukanlah orang yang selalu
berjalan dijalur yang lurus. Aku siap dipanggang di neraka, jika memang itulah
yang dikehendaki-Nya.
Kubuka pintu rumahku lebar-lebar.
Namun tak ada siapa-siapa diluar. Tapi aku tahu. Dia ada disana. Sedang
menatapku dengan tajam. Siap membawaku, tak perduli aku siap atau tidak. Aku
melangkahkan kakiku memasuki rumah kembali. Tanpa menutup pintu. Segera
kubaringkan diriku di atas dipan reot, berusaha untuk serileks mungkin menikmati
detik-detik terakhir hidupku. Aku sudah kesulitan untuk melanjutkan menulis diary ini ketika tiba-tiba tidak
kurasakan lagi kakiku. Dingin. Diteruskan kepinggang, perut, dan sebelum aku
tidak bisa merasakan jantungku lagi, segera ku ucapkan salam perpisahan pada
dunia ini. Selamat tinggal. Aku, pemuda yang sudah renta sebelum waktunya ini,
mohon untuk undur diri.
#Cerita di atas diikutkan dalam Lomba Menulis "Diary sang Zombigaret"
#Cerita di atas diikutkan dalam Lomba Menulis "Diary sang Zombigaret"
"Pergilah seorang diri, Sob." Bara merahnya menertawakan keberakhiranku yang memang fana. Desis asapnya membual.
BalasHapusGood luck, ya :) Keren lho.... heuheu