Prasasti ciaruteun, peninggalan kerajaan Mataram Kuno |
didinmahardi.blogspot.com – Dalam
literatur sejarah dunia, tak pelak kita akan mengenal nama-nama tokoh besar.
Ada Marco Polo, Colombus, dan lain-lainnya. Dua orang penggagas dan penemu.
Yang satu adalah penggagas bahwa bumi itu bulat, dan yang lainnya adalah penemu
Benua Amerika.
Namun jika kita renungkan lebih
dalam lagi, kita akan menemukan ketimpangan dalam sejarah. Ketimpangan tersebut
terletak dalam sudut pandang. Sudut-sudut pandang sejarah hanya memberikan kita
gambaran dari satu arah. Satu dimensi. Dimensi penguasa. Atau mungkin dimensi
kaum terpelajar saja.
Jika kita lihat penulisan sejarah
tentang jasa Colombus yang menemukan Benua Amerika, itupun hanya satu arah.
Bukankah ketika Colombus mendaratkan kapalnya di Amerika, di sana sudah ada
pemukiman. Sudah ada penduduknya. Sudah ada ras yang menghuninya. Ras Indian.
Lantas siapakah kiranya yang akan menyampaikan perasaan orang-orang Indian itu
terhadap tamu mereka. Tentu saja tidak ada. Karena seperti yang sudah saya katakan,
sejarah hanya berhembus dari satu arah. Dari orang-orang terpelajar.
Atau jika kita menengok sejarah
Indonesia kuno, kita akan menemukan Raja-raja dan Kerajaan. Mulai dari Mataram
kuno sampai Mataram Islam. Semua prasasti yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan
itu hanya berhembus dari satu arah. Arah penguasa. Karena penulisan
prasasti-prasasti itupun sebenarnyalah atas perintah sang penguasa. Maka janganlah
kita heran jika isi yang disampaikan oleh prasasti-prasasti itu lebih sering
memuji dan menceritakan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai penguasa saat
itu.
Jarang sekali ada prasasti yang
mewakili perasaan rakyat. Misalnya bagaimana perasaan rakyat yang sudah memabangun
dan mendiami suatu pemukiman bertahun-tahun, kemudian tiba-tiba tanah itu
diambil alih oleh penguasa dengan janji ganti rugi yang tak kunjung diberikan. Atau
bagaimana perasaan sepasang kekasih yang cintanya harus kandas karena sang
wanita diinginkan oleh raja. Hal-hal demikian itu tidak ada yang
menyampaikannya.
Sejarah Indonesia yang pernah
dijajah pun sebenarnya juga berhembus hanya dari satu arah. Arah pesimistis. Karena
jika kita melihatnya melalui prespektif optimistis, kita akan menemukan
Indonesia yang tidak pernah dijajah.
Pada masa penjajahan itu, tidak
semua daerah bisa ditaklukan oleh Belanda. Masih ada daerah-daerah yang
merdeka. Dan selama masih ada daerah yang belum masuk kedalam wilayah kekuasaan
Belanda, hendaknyalah kita memandangnya sebagai kemerdekaan bersama. Dengan prinsip
solidaritas berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Seperti halnya botol
yang separuh kosong, sebenarnyalah ia juga dapat dikatakan separuh berisi. Tergantung
dari prespektif mana kita memandangnya. Pesimistis atau optimistis. (DPM)
.
Seri Antologi:
Harusnya dikirim ke opini koran mas. Dapat duit hehehehe
BalasHapushha, , belum masuk kriteria itu mbak..
Hapuskarena banyak sejarah yg menjadi milik penguasa ya seperti itu,hal-hal kecil seperti misalnya sejarah pedagang,kapal,makanan kehidupan sehari-hari penduduk jarang ada yang menulis.yang paling penting dari sejarah itu bagaimana kita memandang dari semua sudut jangan dari satu sudut.
BalasHapusjoss....
Hapusbener banget, mohon maaf ni siapa ya?
coba komentar di blog tetangga kok gak bisa, tak cobain di blog sendiri ahh,,,,
BalasHapusbisa ternyata :D
Hapus