didinmahardi.blogspot.com –
Diantara dosen-dosen saya, ada seorang dosen yang saya suka
pemikiran-pemikirannya. Sering melontarkan pemikiran-pemikiran yang berlawanan
dengan wawasan umum. Dan saya suka dengan hal-hal baru seperti itu. Namun
meskipun saya suka, bukan berarti saya mendukung atau setuju dengan setiap
pemikiran beliau. Tetap ada pro dan kontra.
Pertama kali saya bertemu dengan
beliau, saat masih semester satu. Pertemuan yang agak buruk sebenarnya. Ceritanya
saat itu mata kuliah yang beliau ampu jadwalnya diajukan. Dan sialnya, saya
tidak tahu tentang perubahan jadwal itu. Jadwal yang awalnya masuk jam 14:40,
diajukan menjadi 13:30. Pertemuan pertama, saya masuk kelas masih berpedoman
pada jadwal yang lama. Jam 14:40. Otomatis ketika saya baru masuk kelas, sontak
teman-teman menjadi ribut. Saya masih tetap plonga-plongo tidak tahu apa
yang diributkan teman-teman. Belum ada 10 menit saya duduk, Pak Dosen sudah
mengakhiri kuliahnya. Dan saat itu saya baru sadar kenapa teman-teman bersorak
heboh barusan. Menyadari hal itu, saya cuma bisa meringis, cuek aja, dan sok cool
hehe. . . .
Pertemuan kedua, konflik berawal
dari sini. Saya lupa saat itu kelas kami sedang membahas apa, tiba-tiba Pak
Dosen melontarkan pemikirannya. Kata beliau. Sebenarnya ketika kita menyentuh
Al Quran, tidak perlulah berwudhu dulu. Karena ayat yang digunakan fuqoha
ketika menetapkan hukum harus berwudhu dulu ketika mau menyentuh Al Quran, itu
tidak relefan. Tidak pas.
Ayat laa yamassuhu
illal mutohharun (tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang yang
suci) tidak cocok jika digunakan sebagai dasar. Karena, ketika ayat ini
diturunkan, Al Quran belum dibukukan. Jadi, menurut beliau, dhomir hu
dalam ayat tersebut kembalinya bukan kepada Al Quran seperti yang kita
pegang saat ini. Tapi kepada Al Quran yang ada di al lauhul mahfudh.
Sedangkan lafadh mutohharun disitu maknanya adalah malaikat-malaikat.
Tentu saja, sebagai bocah yang
baru keluar dari pesantren, dan belum terlalu lama bergelut dengan pemikiran-pemikiran
baru, saya agak sewot waktu itu. Namun rasa sewot saya tidak bisa saya
lontarkan. Ditahan oleh teman saya (jam kuliah sudah hampir habis, kepulangan
teman-teman bisa tertunda kalau saya masih ngeyel hehe, , ,). Akhirnya
saya cuma bisa memendam ke-sewot-an saya dalam hati saja. “Memangnya siapa sih
Dosen ini, berani-beraninya mengkritik Imam Syafi’i” batin saya saat itu.
Mengenai keharusan berwudhu
sebelum memegang Al Quran itu, saya memiliki prespektif lain. Memang benar jika
Al Quran belum dibukukan ketika ayat itu turun. Tapi sudah banyak sahabat Nabi
yang menulis Al Quran dalam berbagai media. Atau tidakkah kita patut
menghormarmati Al Quran?, sebagai kitab suci, atau bahkan sebagai Kalam Allah.
Belakangan baru saya sadar, ini
Jogjakarta kawan, kota yang menerima siapa saja. Orang dengan latar belakang
apapun boleh datang kesini. Belakangan saya juga belajar, bagaimana menghormati
dan menyikapi suatu perbedaan. Karena dengan melihat dan menerima perbedaan,
kita bisa menilai apa-apa yang kurang dari kita. Kita juga bisa mengetahui apa
kelebihan kita. Akhirnya, bukankah perbedaan itu indah?. Dengan berbeda, kita
bisa saling melengkapi. Meskipun sebenarnya masih banyak juga
perbedaan-perbedaan yang belum menemukan titik temu.
Makanya ketika semester ini saya
kembali bertemu dengan beliau, saya justru senang. Akan mendapat
wawasan-wawasan baru. Yang bukan hanya aneh, tapi juga kontrofersial.
Beberapa hal yang pernah beliau
lontarkan disemester ini, di antaranya tentang natal. Bahwa mengucapkan
“selamat natal” itu hukumnya tidak haram, bahkan sunah. Dasarnya ada di Al
Quran surat Maryam ayat 33 katanya. Saya tidak tahu harus berkomentar bagaimana
untuk pendapat ini.
Tentang adzan yang menggunakan
pengeras suara. Adzan yang mnggunakan pengeras suara itu merupakan bentuk
pemaksaan. Memaksa orang yang seharusnya tidak perlu sholat di Masjid harus ke
Masjid. Karena pada masa Rasulullah adzan-nya tidak menggunakan pengeras suara.
Jadi jangkauan suaranya tidak seluas seperti saat ini. Untuk pemikiran yang
ini, saya memiliki prespektif yang berbeda. Karena, seandainya pada masa
Rasulullah sudah ada pengeras suara, tentulah beliau akan menggunakan pengeras
suara untuk melantunkan adzan. Hal ini dapat kita lihat dari menara masjid masa
lalu yang bangunannya lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk. Tujuannya tentu
saja agar muadzin yang melantunkan adzan dari menara tersebut jangkauan
suaranya bisa lebih luas. Nah kalau sudah ada pengeras suara, kenapa pula
muadzin harus berteriak-teriak menghabiskan suara diujung menara.
Tentang riba. Melakukan riba itu
tidak apa-apa. Asalkan tidak terlalu banyak. Karena Rasulullah pernah
memberikan kelebihan (tambahan) ketika beliau membayar hutang. Dan hal demikian
itu (memberikan tambahan-pen) merupakan riba. Karena Rasulullah juga pernah
bersabda man zaada wa man istazaada fa qod arba. Siapa yang menambah dan
meminta tambahan, maka ia telah berlaku riba. Selain itu, jika seseorang
memberikan pinjaman dalam jumlah besar yang pengembaliannya diangsur selama 15
tahun misalnya, tanpa ia meminta bunga, maka ia akan menderita kerugian. Karena
nilai uang saat ini dan nilai uang 15 tahun mendatang akan berbeda. Atau dalam
istilah ekonominya dinamakan dengan nilai waktu uang. Dan argumentasi beliau
tentang riba dan nilai waktu uang tersebut logis. Saya setuju jika alasan
pengambilan riba karena adanya nilai waktu uang. Bukankah alasan utama
dilarangnya riba karena hal tersebut merugikan satu pihak?.
Sebenarnya mungkin masih ada lagi
beberapa pemikiran Pak Dosen yang nyentrik. Tapi hanya itu yang masih nyantol
dengan agak baik dipikiran saya. Yang lainnya cuma kelebat-kelebat tak
jelas. Dan walaupun saya coba paksa untuk menuliskannya, saya tidak menemukan
kata yang tepat untuk mewakili kelebatan-kelebatan ingatan itu selain ke-tidak
jelasan pula.
Intinya saya ingin menyampaikan
rasa salut saya kepada Pak Dosen. Atas pemikiran-pemikiran beliau yang antimaesntream
itu. Bahwa Islam bukanlah monumen yang beku. Melainkan suatu organisme yang
hidup dan berkembang. Al Quran dan Hadits memang sudah berhenti bertambah sejak
14 abad yang lalu. Namun penggalian-penggalian makna terhadap dua sumber hukum
utama kaum muslimin itu tidak boleh berhenti. Karena seperti yang kita tahu,
berkembangnya dunia ini diiringi pula dengan munculnya berbagai masalah baru yang
menuntut pemecahan dengan segera. Dan solusi dari masalah-masalah tersebut
terkadang tidak bisa kita temukan begitu saja dalam teks Al Quran dan Hadits.
Harus ada penggalian dan penggalian. (DPM)
wah...mumet kalo sudah ngomongin soal beda pendapat soal agama
BalasHapusSaya sangat suka dengan tulisan ini, berawal jalan2 ke kotareyog trus terdampar disini. Tulisannya bagus, secara tidak langsung saya dapet pengetahuan baru dr sini haha salam kenal..
BalasHapussalam kenal juga mas, , ,
Hapus