Sabtu, 03 Mei 2014

Berbeda Itu Rahmat

Sumber gambar: innomuslim.com


didinmahardi.blogspot.com – Sebenarnya sudah lama saya ingin menuliskan artikel ini. Tapi terkendala banyak kendala. Kendala yang paling besar terletak pada tidak adanya referensi untuk memperkuat artikel ini. Meskipun sebenarnya bisa saja saya menuliskan artikel tanpa referensi. Karena banyak juga penulis-penulis tersohor yang menulis tanpa referensi. Bahkan ulama-ulama muslim banyak juga yang menuliskan karya-karyanya tanpa referensi.

Tapi tetap saja saya merasa perlu untuk membubuhkan referensi. Hal itu tentu saja karena status saya yang selain santri juga merupakan mahasiswa. Dan sebagai mahasiswa, tentu saya juga harus bersikap layaknya mahasiswa. Segalanya serba akademis. Termasuk jika menuliskan artikel.

Dan akhirnya, dengan terpaksa saya harus gigit jari. Referensi yang saya cari-cari tidak kunjung ketemu. Sudah banyak cara saya tempuh untuk mengais referensi ini. Mulai dari tanya-tanya temen, sampai tanya Mbah Google. Dari temen-temen cuma diberi kalimat seperti ini “iya, saya pernah denger itu. Tapi lupa dimana.” Dari Mbah Google sebenarnya ada, tapi kurang memuaskan.


Daripada menunggu sesuatu yang tak jelas dan tak kunjung didapat, akhirnya saya tuliskan juga artikel ini. Meskipun tanpa referensi yang gamblang. Siapa tahu ada sahabat-sahabat pembaca yang tahu referensinya dan berkenan berbagi dengan saya. Karena barang siapa yang menyembunyikan ilmu Ia dijauhkan dari rahmat tuhan.

Artikel yang ingin saya tulis itu berkaitan dengan perbedaan pandangan mengenai kesunahan mengacungkan jari ketika tasyahud. Saya tidak tahu bagaimana di negara lain. Tapi setahu saya, di Indonesia terdapat dua perbedaan yang mencolok.

Ada yang berpendapat ketika bacaan tasyahud seseorang sampai pada lafadh asyhadu alla ilaha illallahu maka disunnahkan untuk mengacungkan jari. Dan cukup hanya mengacungkan jari saja. Tidak perlu ditambah gerakan-gerakan lainnya.

Sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan, bahwa mengacungkan jari telunjuk saja tidaklah cukup. Melainkan harus disertai pula dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut.

Sebenarnyalah inspirasi untuk menulis artikel ini tidak muncul begitu saja. Ada sebab pemicunya. Dan pemicu tersebut muncul ketika saya mengaji kitab Al Amtsilatut Tashrifiyyah. Sebuah kitab yang dikarang oleh ulama kita sendiri. Kyai Muhammad Ma’shum bin ‘Ali dari Kwaron Jombang Jawa Timur. Seorang ulama yang tidak begitu dikenal meskipun karyanya sudah mendunia.

Bahkan, seperti apa potret beliaupun mungkin hanya diketahui oleh keluarga beliau sendiri. Diluar itu tampaknya tidak ada dokumentasi tentang beliau. Hal ini wajar saja. Karena sebelum meninggalnya Kyai Muhammad Ma’shum membakar satu-satunya potret beliau. Sampai saat ini tidak diketahui apa motifasi beliau membakar potret beliau itu.

Dalam kitab Al Amtsilatut Tashrifiyyah ada bab yang judulnya seperti ini, Al Babul Awwal Minast Tsulatsiyil Mazid. Bab ini menerangkan tentang sebuah kata dasar dalam bahasa arab yang ditambahi tasydid. Meskipun hanya menambah tasydid, namun hal itu sudah cukup untuk merubah makna dari dasar kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ketika suatu dasar kata dalam bahasa arab ditambah tasydid, maka ia akan memiliki lima makna alternatif.

Lima makna alternatif tersebut masing-masing adalah:
1.       Lit Ta’diyyah
2.       Lid Dilalati ‘alat Taktsiri
3.       Linisbatil Maf’uli ila Ashlil Fi’li
4.       Lisalbi Ashlil Fi’li minal Maf’uli
5.       Lit Tikhodil Fi’li minal Ismi.

Tentu saja saya tidak akan menerangkang masing-masing dari lima alternatif makna tersebut. Saya hanya akan menerangkan alternatif makna yang berkaitan dengan masalah perbedaan pandangan di atas. Dan yang berkaitan dengan hal itu hanya alternatif makna nomer satu dan nomer dua.

Seperti yang sudah saya bahas di atas. Bahwa ada dua perbedaan pandangan mengenai mengacungkan jari telunjuk ketika duduk tasyahud akhir. Sebenarnyalah kita tidak perlu merisaukannya.

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa ketika kita membaca tasyahud akhir disunahkan untuk mengacungkan jari saja. Dan tanpa ada gerakan lain lagi. Sebenarnya pendapat ini mengikuti alternatif makna yang nomer satu. Lit ta’diyyah. Mengubah fi’il lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan objek) menjadii fi’il muta’adi (kata kerja yang membutuhkan objek).

Konon katanya hadits yang menunjukkan tentang mengacungkang jari ketika tasyahud ini berbunyi yuharriku. Saya mengatakan ‘konon’, karena hadits ini sudah saya cari-cari dan belum ketemu. Teman-teman sampai Mbah Google pun sudah saya tanyai. Namun semuanya tidak ada yang memberikan jawaban memuaskan.

Lafadh yuharriku tersebut tepat sekali jika dimasukkan dalam bab Al Awwal Minats Tsulatsiyil Mazid. Tepat karena ada penambahan tasydid pada kata ini. Asal kata dari yuharriku adalah yahriku. Ketika ditambah tasydid maka kata yahriku tersebut akan memiliki setidaknya satu dari alternatif-alternatif makna di atas.

Lafadh yahriku sendiri awalnya adalah merupakan fi’il lazim (tidak membutuhkan objek). Contohnya: yahriku zaidun. Zaid sedang bergerak. Ketika lafadh yahriku ditambahi tasydid maka maknanya akan berubah. Dan jika kita melihat pada alternatif makna nomer satu, contohnya akan menjadi seperti ini. Yuharriku zaidun yadahu. Zaid menggerakkan tangannya (ada objeknya). Dan alternatif makna nomer satu inilah yang dijadikan landasan oleh orang-orang yang berpendapat dengan cukup menggerakkan (mengacungkan) jari telunjuk saja ketika tasyahud. Tanpa ditambahi dengan menggerak-gerakkannya.

Sedangkan pendapat kedua, yang mengatakan tidak cukup hanya dengan mengacungkan jari saja, melainkan juga harus disertai dengan menggerak-gerakkannya, mereka mengikuti alternatif makna yang nomer dua. Lid dillalati ‘alat taktsiri. Untuk menunjukkan makna banyak. Untuk contohnya, kita masih bisa menggunakan contoh yang pertama. Yuharriku zaidun yadahu. Zaid menggerak-gerakkan tangannya.

Dan sudah jelaslah akar permasalahan yang melandasi perbedaan tersebut. Yakni memang berbedanya landasan yang digunakan. Dan sudah selaknyalah bagi kita untuk tidak terlalu memperuncing perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus menjadi fokus kita saat ini adalah justru mencari titik-titik temu dari masing-masing perbedaan tersebut. Dan seandainya tidak kita temukan titik temu, maka kita masih bisa untuk menyikapi perbedaan sebagai sesuatu yang fitri. Bahkan sebagai rahmat (kasih sayang) yang diberikan Tuhan. Al khilafu baina ummati rahmatun. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Begitu sabda Nabi ‘alaihis sholatu wassalam. (DPM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar