Kamis, 30 Maret 2017

Arus KKN (3) Mas Wisnu



Pertama kali bertemu dengan Mas Wisnu adalah sore hari sepulangnya kami dari survei ke rumah Pak Dukuh. Mampir sebentar ke Masjid untuk menunaikan ibadah sholat Duhur. Di Masjid inilah kami bertemu Mas Wisnu.

Pada pertemuan pertama ini saya kira mas wisnu ya santri pesantren sekitar situ saja yang diberi tugas untuk mengajar ngaji anak-anak pedukuhan. Ternyata bukan. Mas wisnu adalah semacam santri KKN yang ditugaskan pesantrennya seorang diri berdakwah di dukuh yang kami tempati itu. Betapa luar biasanya.

Dan lebih luar biasa lagi, ternyata usia mas wisnu ini lebih muda dari kami mahasiswa semester akhir. Tepatnya lebih muda dua tahun dari saya yang kelahiran tahun 1994. Meski demikian, kami semua mahasiswa KKN tetap memanggil Mas Wisnu dengan sapaan “Mas”. Bukan “Dek”. Bukan memandang pada usia mas Wisnu yang lebih muda, tetapi lebih kepada pendalaman dan pengamalan ilmu beliau terhadap Ilmu agama Islam.

Sebagai layaknya anak muda, saya lantas menanyakan Facebook Mas Wisnu. Alhamdulillah punya. Beberapa hari belakangan, setelah dua tahun lebih tidak pernah bertemu lagi, beberapa kali status atau foto dari Facebook Mas Wisn masih lewat diberanda Facebook saya. Dan luar biasanya Mas Wisnu masih tetap konsisten dengan mengaji. Bahkan sesekali saya juga sempat menemukan Mas Wisnu menyapa teman-temannya yang sudah tidak Nyantri lagi di Pesantren dengan “Ngajine iseh jalan po ora?”. Maksudnya semacam mengecek apakah ketika sudah tidak di Pesantren lagi masih tetap ngaji. Banyak yang menjawab “Masih”. Alhamdulillah.

Yang luar biasa dari Mas Wisnu adalah, diusianya yang tergolong muda, Ia sudah bisa ngemong mayarakat. Kalau banyak santri yang menguasai banyak ilmu diusia muda, saya rasa hal ini sudah biasa. Tapi kalau yang bisa ngemong masyarakat yang notabenenya adalah orang tua, ini luar biasa. Diperlukan semacam kharisma khusus untuk dapat ngemong masyarakat, apalagi jika usia masyarakat yang harus dihadapi cenderung lebih tua.

Selain ketokohan Mas Wisnu, dalam tulisan ini sebenarnya saya juga ingin menampilkan quote-quote hikmah yang delontarkan Mas Wisnu. Tapi lupa. Ujar-ujar “Ikatlah ilmu dengan tulisan” ternyata bukan omong kosong.



Rabu, 29 Maret 2017
Ds. Sagu, Kec. Kotawaringin Lama, Kab. Kotawaringin Barat
Kalimantan Tengah

Sayyid Afandi Muhammad, Muallif Kitab At Tahliyyah wa At Targhib fi At Tarbiyyah wa At Tahdzib (Bagian 2)



Mencari siapa muallif dari kitab At Tahliyyah wa At Targhib fi At Tarbiyyah wa At Tahdzib untuk kepentingan akademik memang luar biasa peliknya. Apalagi seperti yang sudah saya tuturkan dalam artikel sebelumnya, banyak terjadi kesalah pahaman tentang siapa diri muallif kitab ini. Khalayak umum pesantren yang mengkaji kitab ini meyakini bahwa muallif-nya adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Mekah. Sehingga referensi berbahasa Indonesia banyak yang merujuk dan mendukung keyakinan itu. Padahal, apabila kita menilik pada bigrafi-biografi dari Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki sendiri, tidak tercantum kitab tersebut sebagai buah karya beliau.

Masalah seperti ini (peliknya mencari sumber tertulis sebuah keterangan) sebenarnya juga pernah dialami oleh salah satu tokoh intelektual kita yang religius. Habib Quraish Syihab. Pada saat beliau menempuh studi di Mesir, ada salah satu catatan beliau yang sedianya memerlukan referensi, tetapi referensi yang dicari tidak kunjung ketemu. Yang dilakukan oleh Habib Quraish Syihab adalah bertawassul, berkirim doa kepada guru-guru beliau. Meskipun sekilas tidak ada hubungannya, namun percaya atau tidak, usaha yang dilakukan oleh Habib Quraish Syihab ini berhasil. Ketika memasuki perpustakaan, buku yang acak saja dambil oleh beliau ternyata adalah buku referensi yang memuat keterangan yang diperlukan.