Dari sekian hal yang bisa
dibanggakan dari Indonesia, saya lebih tertarik pada satu hal. Sifat dan
kepribadian penduduknya. Memang tidak dapat dipungkirin bahwa tidak semua
penduduk Indonesia baik. Tapi ada satu orang yang saya rasa cukup untuk
merepresentasikan sifat dari kebanyakan penduduk Indonesia. Beliau adalah KH.
Abdurrohman Wahid. Atau yang biasa dikenal dengan Gus Dur.
Ketika saya membaca berita-berita
yang mengulas perkembangan politik di Timur Tengah, selalu hati dapat berbangga
diri. Betapa tidak? Jika kita amati, konflik-konflik yang terjadi di Timur
Tengah selalu tentang rakyat yang pro dan kontra terhadap pemerintahannya. Dari
yang awalnya pro dan kontra itu, lantas menjadi pertumpahan darah yang mengiris
hati.
Untunglah kita punya Gus Dur.
Yang dengan legowo turun dari jabatannya sebagai Presiden kala itu.
Karena, seperti halnya Timur Tengah, terdapat banyak pihak yang pro dan kontra
terhadap kepemimpinan Gus Dur. Boleh jadi jika Gus Dur ngotot mempertahankan
kepemimpinannya saat itu, akan banyak rakyat yang membelanya. Terutama kaum Nahdliyin.
Tapi siapa yang dapat menjamin bahwa pihak yang kontra tidak akan melakukan
pemberontakan? Betapa Indonesia akan menjadi banjir darah hanya karena
ke-egois-an satu orang? Alhamdulillah kejadian yang demikian tidak terjadi.
Karena seperti kata Gus Dur. “Tidak ada satu pun jabatan di dunia ini yang
pantas dipertahankan mati-matian.”
Selain Gus Dur, hal yang saya
banggakan dari Indonesia adalah kaum beragamanya. Adalah jika mayoritas kaum
beragama di Indonesia adalah Islam. Tapi meskipun menjadi pihak yang mayoritas,
Islam di Indonesia tidak lantas menjadi semena-mena. Mereka sepenuhnya sadar
terhadap konsekuensi dari sifat semena-mena dan mau menang sendiri. Karena
memang terdapat semacam pengertian bahwa pihak yang mayoritas haruslah
memberikan toleransi kepada pihak yang minoritas.
Jika kita menengok sejarah
masuknya Islam ke Indonesia, dapat kita temukan bahwa terdapat perbedaan
mencolok dengan sejarah masuknya Islam ke kawasan sekitar Timur Tengah. Jika
Islam di Timur Tengah masuk dengan cara menaklukkan yang identik dengan perang,
maka Islam di Indonesia masuk dengan mau’idhotil hasanah. Dengan
penyampaian yang baik. Tengoklah bagaimana para Walisongo itu menyebarkan agama
Islam. Mayoritas dari mereka menyebarkan dengan cara yang berbasis kultural,
budaya.
Walisongo datang ke Indonesia
tidak dengan pasukan. Hanya dengan kelompok-kelompok kecil. Bahkan mungkin ada
pula yang datang seorang diri tanpa kelompok. Terombang-ambing di lautan
menumpang kapal para pedagang. Diantara mereka yang datang itu, lantas ada yang
menjadi tabib, pedagang, dan berbagai profesi lainnya.
Literatur sejarah yang saya baca,
belum ada yang secara spesifik menjelaskan bagaimana cara dakwah Walisongo pada
periode pertama kedatangannya (perlu diketahui bahwa terdapat beberapa periode
masa Walisongo. Terjadi tambal sulam pada setiap periode tersebut. Dimana Wali
yang wafat atau kembali ke daerah asalnya digantikan oleh Wali dari generasi
setelahnya). Hanya disebutkan bahwa Walisongo periode pertama adalah
Ulama-Ulama mumpuni yang diutus Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Usmani
untuk berdakwah ke Indonesia.
Disebutkan pula bahwa selain
mumpuni dibidang keislaman, Walisongo adalah juga ahli dalam bidang pertabiban
dan tata kelola negara. Diantaranya ada pula yang ahli me-ruqyah
daerah-daerah tertentu agar terbebas dari unsur-unsur negatif. Mungkin karena
Ulama Walisongo banyak terdiri dari orang-orang yang ahli tata kelola negara
itulah maka penyebaran agama Islam di Indonesia dapat masuk dengan jalan tanpa
kekerasan. Tapi lebih pada memberi contoh langsung dan budi luhur. Baru pada
periode-periode berikutnya, dakwah Walisongo dilakukan dengan cara yang
bersifat kultural. Tokoh pelopornya adalah Sunan Bonang dan kemudian Sunan
Kalijaga.
Mungkin karena teladan yang
diberikan Walisongo tersebut lantas iklim toleransi beragama di Indonesia bisa
tertanam begitu kuatnya. Para kaum beragama di negeri ini saling memberi
“selamat” disetiap perayaan hari raya. Meskipun mereka itu berlatar belakang
agama yang berbeda.
Tidak saya pungkiri bahwa hal-hal
semacam itu terkadang juga menimbulkan pro dan kontra pula. Dari umat Islam
misalnya, ada yang berpendapat memberi “selamat” kepada pemeluk agama lain
tidak diperbolehkan. Tapi toh percikan-percikan kecil seperti itu tidak sampai
menimbulkan konflik. Rakyat Indonesia sudah cukup dewasa untuk menghargai
perbedaan.
Hipotesis terhadap asal-usul
sifat legowo rakyat Indonesia yang saya uraikan di atas, tentu tidak
dapat saya ajukan sebagai kebenaran yang tunggal. Karena peradaban Indonesia
sudah dimulai beribu tahun sebelum Walisongo datang membawa pengaruhnya. (DPM)
Yogyakarta, 07 Maret 2015
"adalah jika mayoritas...." itu pemborosan kata mas.
BalasHapusdan sarannya, kalau disertakan bukti sejarahnya, misal manuskrip, mungkin lebih bagus (y)
mator tengkyu mas , , ,
Hapuskapan2 semoga bisa menyertakan manuskripnya hahaha
bagus mas, curhatannya..hehe
BalasHapushatur nuhun atuh. . .
HapusCah NU iki wkwkwkw
BalasHapushahaha kroso soko tulisane yo kang?
Hapus