Rabu, 11 Februari 2015

Indonesia Juga Islam



Selama ini masyarakat dunia selalu mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah. Dan pandangan yang seperti itu bukan tanpa efek samping. Perbuatan-perbuatan buruk yang bersumber atau dilakukan oleh orang-orang timur tengah dianggap seakan-akan seperti itulah ajaran Islam. Padahal Islam tak hanya di Timur Tengah.

Mereka yang beranggapan seperti itu, mungkin melupakan satu hal. Bahwa penduduk Timur Tengah itu juga manusia biasa adanya. Manusia biasa yang tak bisa melepaskan dirinya dari berbagai kepentingan pribadi. Atau yang dalam ajaran Islam disebut dengan nafsu.

Mereka melupakan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya termaktub dalam kitab Al Quran dan Al Hadits. Itupun masih memerlukan ilmu-ilmu pendukung untuk menguak isi kandungan dua kitab tersebut. Asbabun nuzul, asbabul wurud, tafsir, dan lain sebagainya. Meskipun demikian siapa yang berani menjamin bahwa dengan ilmu-ilmu pendukung tersebut makna-makna tersirat yang terdapat dalam Al Quran maupun Al Hadits sudah dapat terungkap dengan sepenuhnya. Tak akan ada yang berani menjamin. Kalaupun ada, saya rasa ialah orang yang terlalu angkuh dan tak dapat mengukur diri. Siapakah kiranya diri kita ini? Sehingga begitu angkuhnya mengaku dapat memahami apa yang dikehendaki Allah.

Dua kitab yang demikian kecil dituntut untuk menjawab berbagai permasalahan multi zaman dan multi dimensi. Tentu saja diperlukan penguakan makna dari sisi terkecilnya. Bukan hanya sedtiap kata, bahkan makna dibalik pemilihan huruf yang digunakannya.

Tentu saja dalam proses pengakan makna tersebut akan mendapat banyak pengaruh eksternal maupun internal. Seperti halnya Imam Syafi’i, yang mengeluarkan qaul jadid setelah beliau pindah ke Mesir. Sedikit banyak pengeluara qaul jadid ini tentu mendapat pengaruh dari tradisi atau adat bangsa mesir yang berbeda dari tempat ketika beliau mengeluarkan qaul qodimnya. Saya rasa begitu pulalah setiap bangsa di dunia ini dalam mendalami Al Quran maupun Al Hadits. Kondisi tempat tinggal tentu memiliki andil pengaruh.

Begitu pula negeri beriklim tropis ini, Indonesia. Matahari yang hangat dan tidak menyengat juga memiliki andil membentuk watak penduduknya. Memang di negeri ini sesekali pernah terjadi konflik yang berbau sara. Namun itu hanya berskala kecil. Bersifat kedaerahan dan tidak sampai menyulut daerah lainnya. Bukan berarti tak acuh, tapi memberi kesempatan kepada masing-masing daerah untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sebagai sesama dewasa. Yang lainnya cukup membantu dengan doa ataupun aksi solidaritas di jalanan.

Memang pernah ampir terjadi konflik nasional. Tapi itu masi hampir. Dan tidak jadi terjadi. Masa itu adalah masa penurunan Presiden Abdurrohman Wahid. Antara yang mendukung dan mengiginkan beliau tetap menjabat sama kerasnya. Untunglah Gus Dur cukup legawa. “Tidak ada satupun jabatan di dunia ini yang pantas dipertahankan mati-matian” katanya.

Sikap Gus Dur yang demikian itu saya rasa juga dimiliki oleh banyak penduduk Indonesia. Apapun agamanya. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, pantaslah kalau sikap Indonesia juga dipandang sebagai sikap Islam. Bagaimana umat muslim Indonesia memberikan ucapan selamat pada umat Kristen pada hari natal. Atau bagaimana umat Kristen membuka rumahnya untuk dikunjungi teman-temannya yang muslim. Dan banyak hubungan harmonis antar beragama lainnya.

Yogyakarta, 11 Februari 2015

2 komentar:

  1. Indonesia memang patut dijadikan pandangan negara lain dalam bertindak dan beragama. bravo Indonesia! btw, Yogyakarta sudah panas menyengat mas hehe.

    BalasHapus