Selama ini masyarakat dunia
selalu mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah. Dan pandangan yang seperti itu
bukan tanpa efek samping. Perbuatan-perbuatan buruk yang bersumber atau
dilakukan oleh orang-orang timur tengah dianggap seakan-akan seperti itulah
ajaran Islam. Padahal Islam tak hanya di Timur Tengah.
Mereka yang beranggapan seperti
itu, mungkin melupakan satu hal. Bahwa penduduk Timur Tengah itu juga manusia
biasa adanya. Manusia biasa yang tak bisa melepaskan dirinya dari berbagai
kepentingan pribadi. Atau yang dalam ajaran Islam disebut dengan nafsu.
Mereka melupakan bahwa ajaran
Islam yang sesungguhnya termaktub dalam kitab Al Quran dan Al Hadits. Itupun
masih memerlukan ilmu-ilmu pendukung untuk menguak isi kandungan dua kitab
tersebut. Asbabun nuzul, asbabul wurud, tafsir, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian siapa yang berani menjamin bahwa dengan ilmu-ilmu pendukung
tersebut makna-makna tersirat yang terdapat dalam Al Quran maupun Al Hadits
sudah dapat terungkap dengan sepenuhnya. Tak akan ada yang berani menjamin.
Kalaupun ada, saya rasa ialah orang yang terlalu angkuh dan tak dapat mengukur
diri. Siapakah kiranya diri kita ini? Sehingga begitu angkuhnya mengaku dapat
memahami apa yang dikehendaki Allah.
Dua kitab yang demikian kecil
dituntut untuk menjawab berbagai permasalahan multi zaman dan multi dimensi.
Tentu saja diperlukan penguakan makna dari sisi terkecilnya. Bukan hanya
sedtiap kata, bahkan makna dibalik pemilihan huruf yang digunakannya.
Tentu saja dalam proses pengakan
makna tersebut akan mendapat banyak pengaruh eksternal maupun internal. Seperti
halnya Imam Syafi’i, yang mengeluarkan qaul jadid setelah beliau pindah ke
Mesir. Sedikit banyak pengeluara qaul jadid ini tentu mendapat pengaruh dari
tradisi atau adat bangsa mesir yang berbeda dari tempat ketika beliau
mengeluarkan qaul qodimnya. Saya rasa begitu pulalah setiap bangsa di dunia ini
dalam mendalami Al Quran maupun Al Hadits. Kondisi tempat tinggal tentu
memiliki andil pengaruh.
Begitu pula negeri beriklim
tropis ini, Indonesia. Matahari yang hangat dan tidak menyengat juga memiliki
andil membentuk watak penduduknya. Memang di negeri ini sesekali pernah terjadi
konflik yang berbau sara. Namun itu hanya berskala kecil. Bersifat kedaerahan
dan tidak sampai menyulut daerah lainnya. Bukan berarti tak acuh, tapi memberi
kesempatan kepada masing-masing daerah untuk menyelesaikan masalahnya sendiri
sebagai sesama dewasa. Yang lainnya cukup membantu dengan doa ataupun aksi
solidaritas di jalanan.
Memang pernah ampir terjadi
konflik nasional. Tapi itu masi hampir. Dan tidak jadi terjadi. Masa itu adalah
masa penurunan Presiden Abdurrohman Wahid. Antara yang mendukung dan
mengiginkan beliau tetap menjabat sama kerasnya. Untunglah Gus Dur cukup
legawa. “Tidak ada satupun jabatan di dunia ini yang pantas dipertahankan
mati-matian” katanya.
Sikap Gus Dur yang demikian itu
saya rasa juga dimiliki oleh banyak penduduk Indonesia. Apapun agamanya. Karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, pantaslah kalau sikap Indonesia
juga dipandang sebagai sikap Islam. Bagaimana umat muslim Indonesia memberikan
ucapan selamat pada umat Kristen pada hari natal. Atau bagaimana umat Kristen
membuka rumahnya untuk dikunjungi teman-temannya yang muslim. Dan banyak
hubungan harmonis antar beragama lainnya.
Yogyakarta, 11 Februari 2015
Indonesia memang patut dijadikan pandangan negara lain dalam bertindak dan beragama. bravo Indonesia! btw, Yogyakarta sudah panas menyengat mas hehe.
BalasHapusklo kepanasan ya mandi mas. .
BalasHapus