Jumat, 29 Januari 2016

Hidup Untuk Apa (2)

Warung Bu Tini


Saat awal-awal berdomisili di Yogyakarta, alhamdulillah saya menemukan tempat makan yang menurut saya enak. Menunya memang cuma lotek dan gado-gado, tapi yang dua itu cukuplah. Ditambah teh manis dan beberapa gorengan sudah lebih lebih dari cukup.

Letak warungnya di jalan gambiran sekitaran Kotagede. Tidak terlalu mencolok memang. Cuma ada papan kecil bertuliskan Lotek dan Gado-gado yang tergantung di depan warung. Selain tempatnya tidak mencolok, bangunan warungnya juga tidak seberapa luas. Tampaknya hanya sekedar numpang di teras rumah. Pendek kata warung tersebut memang benar-benar alakadarnya.

Tepat di depan warung tersebut ada Rumah Makan Bumiayu. Tapi entah kenapa saya lebih PW untuk mampir ke warung lotek ini. Mungkin selain menunya yang memang yahut, juga karena pelayanan ramah Bu Tini. Pemilik warung tersebut.

Bu Tini ini ramahnya luar biasa. Entah memang pembawaannya seperti itu, atau sekedar strategi pemasaran. Yang jelas saya nggak kapok untuk kembali jajan ke warung tersebut. Sudah sejak pertama kali saya mampir, Bu Tini ramah seperti itu. Dan yang saya perhatikan, memang Bu Tini ramah kepada semua pelanggannya. Rasanya mereka semua adalah kerabat beliau saja, atau bagi yang jauh lebih muda seperti saya, mungkin sudah dianggap seperti anak sendiri.

Pernah suatu hari Bu Tini menunjukkan sekotak besar bungkusan.

“Niku nopo Buk?” tanya saya.

“Hadiah le, ibu ulang tahun” jawabnya sambil tersenum.

Anda tahu makna dibalik percakapan singkat di atas? Artinya, yang perhatian terhadap Bu Tini banyak. Perlu diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan oleh seorang pelanggan warungnya. Saya sendiri kurang tahu siapa. Mungkin mahasiswa sekitar, bisa juga pelajar atau sekedar muda-mudi langganan. Entahlah. Yang jelas hal ini menunjukkan bahwa hubungan Bu Tini dengan pelanggannya bukan sekedar penjual dan pembeli. Tapi lebih mengikat. Semacam hubungan emosional lah. Luar biasa bukan.

“Ibu dewe ki malah lali nek dino iki ulang tahun. Tapi malah enek sing ngewehi hadiah. Yo wes ngeneiki le, nek repot kerjo” lanjut Bu Tini.

Betapa repotnya Bu Tini ini pikir saya. Dari pagi sampai pagi lagi mungkin hal yang dipikirkannya ya cuma itu-itu saja. Pekerjaannya. Entah demi apa atau siapa. Hingga Ia melupakan dirinya sendiri.

***

Untuk orang sesederhana Bu Tini mungkin belum pernah bertanya-tanya (atau mungkin sudah) untuk apa hidup ini? Kenapa kita harus terlahir?

Bagi orang-orang bertuhan (terutama Islam), jawaban dari pertanyaan di atas mungkin sangatlah mudah. Beribadah. Itulah tujuan muslimin ada dan hidup di dunia ini. Namun, benarkah sesederhana itu?

Ternyata tidaklah demikian. Oke kita akui bahwa setiap kita, selama masih dalam tataran manusia biasa, yang bajingan maupun yang baik, tentu menginginkan surga sebagai tempat kembalinya. Mereka yang beribadah, mereka yang korupsi, mereka yang melacur, semuanya mengiginkan surga. Dan tiket ke surga tentu saja tidaklah mudah didapat. Meskipun tentu saja, Tuhan memiliki otoritas utama dalam menentukan siapa yang pantas menghuni surga. Seorang bajingan seumur hidup pun jika Tuhan mengehendakinya ke surga siapa yang akan mampu menghalangi. Seorang beribadah seumur hidup kalau Tuhan menghendakinya ke neraka, siapa pula yang akan sanggup memprotes. Karena seperti halnya kita, surga dan neraka pun adalah kepunyaan Tuhan[1]. Maka terserah Ia mau mengisinya dengan apa atau siapa.

Mungkin akan menjadi basi dan membosankan jika Tuhan menciptakan manusia yang diperintahkannya untuk (hanya) beribadah kepadaNya tanpa tantangan. Membosankan, dan sungguh akan membosankan. Karenanya disertakanlah will, keinginan, hasrat, atau yang jamak disebut sebagai nafsu. Nafsu inilah yang harus dikendalikan, dikontrol. Diluapkan pada tempat dan saat yang tepat. Bukan dibunuh. Karena keberadaannya juga penting. Manusia dapat hidup dan beranak pinak karena adanya nafsu ini, will.

Banyak yang meriwayatkan bahwa Tuhan menciptakan manusia agar mejadi kholifah di muka bumi ini. dan karena begitu kompleksnya sisi-sisi kehidupan di dunia ini. maka diperlukanlah pula adanya kholifah dalam banyak bidang tersebut. Dan tugas kita, mencari tahu harus menjadi kholifah bidang apakah kita ini? Jika sudah demikian, maka qodrat hidup di dunia ini tidaklah akan begitu membingungkan.

Yogyakarta, 29 Januari 2016


[1] A. Mustofa Bisri, Kumpulan Cerpen Lukisan kaligrafi (Jakarta: Kompas, 2008). Hlm. 11.

2 komentar:

  1. Wah dalem banget ini postingannya...
    setau saya, selain jadi kholifah, kita juga menjadi hamba...

    wow, dua hal yang keren menurut saya :)
    satu sisi kita ada kekuasaan, satu sisi, kita juga diberikan tolak ukur kekebebasan yg tlah diberikan oleh Allah SWT...

    BalasHapus