Senin, 03 November 2014

Sumpah Pemuda dan Bahasa yang Fana


SOEMPAH PEMOEDA


1.       Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
Peserta Kongres Pemuda II


bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia

2.       Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe

berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

3.       Kami poetra dan poetri Indonesia

menjoenjoeng bahasa bahasa persatoean, bahasa Indonesia
 Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Sumpah Pemuda di atas memang sengaja saya ketik menggunakan ejaan lama. Tujuannya sekedar untuk mengingatkan bahwa kita pernah memiliki ejaan lama tersebut. Bahwa pernah ada yang berubah dalam ejaan bahasa Indonesia kita. Dan saya rasa bukan hanya ejaan yang pernah berubah. Banyak hal-hal lain yang turut berubah. Termasuk bahasa.

Momentum 86 tahun peringatan sumpah pemuda yang bertepatan dengan hari selasa kemarin itu, banyak dimanfaatkan oleh para penulis untuk menuangkan opini mereka diberbagai media masa. Latar belakang para penulis tersebut beragam. Mulai dari yang berlatar belakang akademik, maupun non akademik. Skala media masa yang dituju pun berbeda-beda. Mulai dari yang lokal, sampai yang nasional.

Meskipun tertuang dari latar belakang penulis dan media masa yang berbeda-beda, namun terdapat kesamaan pada hampir semua opini tersebut. Kesemuanya membahas dan mengritik penggunaan bahasa Indonesia. Ada semacam tuntutan agar seluruh rakyat Indonesia menjaga dan mempertahankan keontetikan bahasa Indonesia. Seluruh rakyat artinya ya semuanya. Dari kalangan bawah sampai presidennya.

Padahal mungkin sedikit orang yang tahu bahwa istilah “Sumpah Pemuda” baru muncul pada kisaran tahun 50-an. Di populerkan oleh Bung Karno. Harapannya agar Sumpah Pemuda ini menjadi sama “sakral-nya” dengan Sumpah Palapanya Gajah Mada. Sedangkan surat kabat Sinpo yang merupakan surat kabar pertama yang menuliskan hasil Kongres Pemuda II pada tahun 1928 hanya menuliskan “Putusan Kongres” dan bukan sumpah pemuda. (Mugniar.com)

Itulah kenapa kita harus sadar, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kecuali Tuhan. Selainnya hanya bersifat fana belaka. Seperti ejaan bahasa Indonesia kita, toh juga terjadi perubahan kan. Dalam hal bahasa, saya rasa juga banyak terjadi perubahan. Untuk membuktikannya, cobalah sesekali membaca karya tulis lama. Dari kisaran tahun 60-an misalnya, akan terasa ada yang kurang dari tulisan tersebut. Jika diibaratkan makanan, maka tulisan tersebut akan terasa kurang renyah. Itu baru dari kisaran tahun 60-an. Bagaimana jika lebih lama lagi, teks-teks pidato kepresidenan Bung Karno misalnya. Meskipun masih dapat ditangkap maksudnya, namun jika dilihat dari susunan katanya dan diimplementasikan pada saat ini, akan terasa ada yang janggal. Atau yang oleh rakyat Jogja disebut wagu.

Tentu saja dari segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu, akan tetap terdapat pengecualian. Pengecualian tersebut akan dapat kita temukan dalam kitab sucinya kaum muslimin. Al Quran. Bukan merupakan kebetulan jika Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Dari ribuan bahkan jutaan karya tulis, bisa dikatakan Al Quran-lah satu-satunya yang masih renyah dipahami artinya setelah 14 abad lamanya. Selain karena faktor orang-orang Arab yang kukuh mempertahankan keontetikan bahasanya, saya yakin terdapat invisible hand yang turut campur dalam hal ini. Inna nahnu nazzalnadz dzikro wa inna lahu lachafidhun. Begitu bunyi salah satu ayat dalam Al Quran itu.

Akhirnya kita tetap harus sadar, bahwa tiada yang abadi di dunia ini. Kecuali Tuhan Yang Maha Esa dan hal-hal yang dikehendakinya. (DPM)

Yogyakarta, 02 November 2014

2 komentar: