SOEMPAH PEMOEDA
1. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
Peserta Kongres Pemuda II |
bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia
2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
3. Kami poetra dan poetri Indonesia
menjoenjoeng bahasa bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Djakarta,
28 Oktober 1928
Teks Sumpah Pemuda di atas memang
sengaja saya ketik menggunakan ejaan lama. Tujuannya sekedar untuk mengingatkan
bahwa kita pernah memiliki ejaan lama tersebut. Bahwa pernah ada yang berubah
dalam ejaan bahasa Indonesia kita. Dan saya rasa bukan hanya ejaan yang pernah
berubah. Banyak hal-hal lain yang turut berubah. Termasuk bahasa.
Momentum 86 tahun peringatan
sumpah pemuda yang bertepatan dengan hari selasa kemarin itu, banyak
dimanfaatkan oleh para penulis untuk menuangkan opini mereka diberbagai media
masa. Latar belakang para penulis tersebut beragam. Mulai dari yang berlatar
belakang akademik, maupun non akademik. Skala media masa yang dituju pun
berbeda-beda. Mulai dari yang lokal, sampai yang nasional.
Meskipun tertuang dari latar
belakang penulis dan media masa yang berbeda-beda, namun terdapat kesamaan pada
hampir semua opini tersebut. Kesemuanya membahas dan mengritik penggunaan bahasa
Indonesia. Ada semacam tuntutan agar seluruh rakyat Indonesia menjaga dan
mempertahankan keontetikan bahasa Indonesia. Seluruh rakyat artinya ya
semuanya. Dari kalangan bawah sampai presidennya.
Padahal mungkin sedikit orang
yang tahu bahwa istilah “Sumpah Pemuda” baru muncul pada kisaran tahun 50-an. Di
populerkan oleh Bung Karno. Harapannya agar Sumpah Pemuda ini menjadi sama “sakral-nya”
dengan Sumpah Palapanya Gajah Mada. Sedangkan surat kabat Sinpo yang merupakan
surat kabar pertama yang menuliskan hasil Kongres Pemuda II pada tahun 1928
hanya menuliskan “Putusan Kongres” dan bukan sumpah pemuda. (Mugniar.com)
Itulah kenapa kita harus sadar, bahwa
tidak ada yang abadi di dunia ini. Kecuali Tuhan. Selainnya hanya bersifat fana
belaka. Seperti ejaan bahasa Indonesia kita, toh juga terjadi perubahan kan.
Dalam hal bahasa, saya rasa juga banyak terjadi perubahan. Untuk
membuktikannya, cobalah sesekali membaca karya tulis lama. Dari kisaran tahun
60-an misalnya, akan terasa ada yang kurang dari tulisan tersebut. Jika
diibaratkan makanan, maka tulisan tersebut akan terasa kurang renyah. Itu baru
dari kisaran tahun 60-an. Bagaimana jika lebih lama lagi, teks-teks pidato
kepresidenan Bung Karno misalnya. Meskipun masih dapat ditangkap maksudnya,
namun jika dilihat dari susunan katanya dan diimplementasikan pada saat ini,
akan terasa ada yang janggal. Atau yang oleh rakyat Jogja disebut wagu.
Tentu saja dari segala sesuatu
yang berkaitan dengan bahasa itu, akan tetap terdapat pengecualian. Pengecualian
tersebut akan dapat kita temukan dalam kitab sucinya kaum muslimin. Al Quran.
Bukan merupakan kebetulan jika Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Dari ribuan
bahkan jutaan karya tulis, bisa dikatakan Al Quran-lah satu-satunya yang masih
renyah dipahami artinya setelah 14 abad lamanya. Selain karena faktor
orang-orang Arab yang kukuh mempertahankan keontetikan bahasanya, saya yakin
terdapat invisible hand yang turut campur dalam hal ini. Inna nahnu
nazzalnadz dzikro wa inna lahu lachafidhun. Begitu bunyi salah satu ayat
dalam Al Quran itu.
Akhirnya kita tetap harus sadar, bahwa
tiada yang abadi di dunia ini. Kecuali Tuhan Yang Maha Esa dan hal-hal yang
dikehendakinya. (DPM)
Yogyakarta, 02 November 2014
Tidak ada yang statis dalam hubungannya dengan waktu
BalasHapusbener kang. . .
Hapus