Jumat, 14 Februari 2014

Bercermin Pada Kanjeng Nabi (Bagian 1)

Sumber: kaligrafinusantaraonline.wordpress.com

didinmahardi.blogspot.com - 

Serulah  kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS: An Nahl; 125)

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS: Ali Imran; 104)

Dalam Islam ada dikenal dua istilah yang maknanya hampir sama, namun sebenarnya berbeda. Dua istilah tersebut adalah dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Sekilas dua istilah tersebut memiliki makna yang sama, yakni menyeru atau mengajak.

Namun jika kita lihat lebih dalam, dalam dua ayat di atas, kita akan menemukan perbedaan dari kata dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Perbedaan itu terletak pada objek atau sasaran dakwah.

Jika anda memahami gramatika bahasa Arab, anda tentu akan menemukan kejanggalan pada dua ayat di atas. Kejanggalan tersebut terletak pada tidak adanya maf’ul atau objek dari masing-masing ayat. Kejanggalan tersebut sebenarnya tak perlu dirisaukan, karena objek dari dua ayat di atas dapat kita ketahui dengan membaca ayatnya.

Pada ayat pertama ada kalimat “Serulah kepada jalan Tuhan-mu.”  Dari kalimat ini dapat kita ketahui bahwa objek dari ayat tersebut tentu adalah orang-orang yang belum berada di jalan Tuhan. Dan jika kita analogikan bahwa jalan Tuhan adalah Islam, maka orang-orang yang harus kita ajak ke jalan Tuhan tentulah orang-orang yang belum Islam. Oleh karena itulah Allah menambahkan kalimat “dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”

Mengajak dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik memang perlu. Kerena walaupun kita mengajak kepada kebaikan, namun jika dilakukan dengan cara yang tidak baik, dapat anda bayangkan bagaimana hasilnya. Salah-salah bukan simpati atau perhatian yang kita dapat, tapi justru kebencian, naudzubiLlah.

Tengoklah sejarah, tengoklah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, bagaimana cara beliau berdakwah. Pernahkah beliau menghunus pedang dan mengancam orang-orang yang tidak mau masuk Islam.

Dapat kita bayangkan bagaimana wajah Islam saat ini jika Rasulullah menghunus pedang dalam dakwahnya. Tidak akan ada yang namanya Islam. Karena pada awal-awal Rasulullah diangkat menjadi Nabi, hanya ada segelintir orang yang memberikan kepercayaan kepada beliau. Yang lainnya menolak dengan keras. Dan jika orang-orang yang menolak itu diperangi, lantas siapa yang akan menjadi umat Rasulullah. Bisa jadi Rasulullah justru terbunuh sebelum sempat menyebar luaskan ajaran Islam karena perbedaan jumlah masa yang sangat besar antara yang langsung mempercayai dan menolak mentah-mentah.      

Dalam berdakwah, Rasulullah selalu berlaku fleksibel. Beliau tidak serta merta menghapuskan segala tradisi masa jahiliyah saat itu. Selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan akidah dan ajaran Islam, dibiarkan atau bahkan disempurnakan.

Ibadah haji itu sudah merupakan tradisi Arab sejak sebelum Rasulullah diutus. Lantas oleh Rasulullah dibenarkan dan disempurnakan. Tradisi perayaan tahunan di kota Madinah, diganti dengan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Selain dua tradisi diatas, sebenanya masih banyak hadis-hadis yang menyatakan ke-fleksiel-an dakwah Rasulullah. Seperti hadis tentang bersalaman, hadis tentang diperbolehkannya menjimak istri dimasa kehamilan, dan lain-lainnya.

Bandingkan cara dakwah Rasulullah yang telah mampu membawa mayoritas penduduk dunia memeluk Islam dengan cara dakwah dai masakini. Jika Anda merasa bahwa Rasulullah adalah manusia sempurna yang tidak siapapun bisa menyamainya, cobalah tengok dakwah Walisongo, yang juga jelas terbukti mampu membawa mayoritas bangsa ini ke jalan Allah. Bandingkan juga hasil yang diperoleh. (*)

Lanjutkan Membaca ke Bagian 2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar