Sabtu, 08 Februari 2014

Mempertanyakan Kedudukan Manusia


didinmahardi.blogspot.com – Pertemuan pertama saya dengan dosen Mata Kuliah Tauhid cukup memberikan kesan yang mendalam. M. Jamil, begitu beliau memperkenalkan namanya. Asalnya dari Bojonegoro, dan dulu pernah mengajar di Madrasah Aliyah sebelum kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi hingga akhirnya menjadi Dosen di UIN Sunan Kalijaga. Sekarang menetap di Yogyakarta.

Kesan pertama saya terhadap Pak Jamil adalah orangnya galak. Hal ini saya lihat karena badannya besar, suaranya horror, juga ketika pertama kali memasuki kelas beliau sama sekali tidak menampakkan senyum. Ternyata tidak. Pak Jamil orangnya cair. Tampaknya memang benar ucapan “Jangan melihat seseorang dari tampilan luarnya.”

Dalam pertemuan pertama tersebut Pak Jamil menyampaikan tentang rencana belajar kita kedepan. Setengah semester awal, kita akan banyak membahas tentang rukun iman (mendengar ini ada sebagian teman yang tertawa, meremehkan sesuatu yang tak pantas diremehkan). Sedangkan setengah semester selanjutnya kita akan membahas tentang aliran-aliran dalam ilmu kalam.

Selain menyampaikan tentang rencana belajar kedepan, Belliau juga berbicara tentang manusia. Suatu hal yang awalnya tidak menarik menurut saya. Tapi kemudian justru saya terhanyut olehnya bahkan tak terasa sampai lupa waktu.

Pembicaraan mengenai manusia ini dimulai dari dua hal inti dalam alam semesta. Kholiq dan Makhluq. Pencipta dan yang diciptakan.

Pencipta adalah Allah, hal yang diciptakan adalah alam semesta beserta isinya. Beliau lalu menuturkan tentang luasnya alam semesta ini. Tentang luas alam semesta yang sudah diketahui manusia, 11 miliar tahun cahaya (dengan kecepatan cahaya 300.000 km/detik). Besarnya matahari yang 300.000 kali besarnya bumi. Jarak bumi dan matahari yang 150 km. Dan banyak hal lainnya.

Sebenarnya pengetahuan yang semacam itu sudah umum. Sudah banyak dibahas dalam berbagai buku. Namun terkadang manusia lupa. Lupa betapa kecilnya dirinya dibandingkan alam semesta, apalagi jika dibandingkan sang pencipta semesta. Astaghfirullah.

Pembahasan berikutnya, beliau mempetanyakan tentang kedudukan manusia. Mana yang paling mulia antara manusia, malaikat, dan iblis.

Teman-teman ada yang nyeletuk. “Lebih mulia malaikat” kata teman saya itu. Lalu pak jamil menjawab. “Jika lebih mulia malaikat, malaikat pernah diperintahkan sujud untuk menghormati manusia. Jika lebih mulia iblis, iblis juga pernah diperintahkan sujud untuk menghormati manusia juga. Jika manusia lebih mulia, dalam Al Quran Surat Al Furqon; 44, disebutkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih hina dari binatang.”

Kesimpulannya, dari tiga makhluk Allah diatas tidak ada yang lebih mulia. Namun manusia memiliki keistimewaan lebih. Keistimewaan manusia terletak pada unsur penciptaannya. Jika malaikat, binatang, dan iblis hanya diciptakan dari satu unsur, cahaya, air, dan api, manusia diciptakan dari dua unsur. Tanah dan ruh.

Karena diciptakan dari dua unsur tersebutlah manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan. Dengan ruh yang merupakan bagian dari Tuhan, manusia bisa menjadi lebih mulia dari malaikat. Dan dengan tanah, manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih hina dari iblis bahkan binatang. Tergantung jalan mana yang ia pilih. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar