Capres-Cawapres 2014-2019. Sumber gambar: www.siagaindonesia.com |
didinmahardi.blogspot.com – Di
Indonesia, saat ini, lagi hangat-hangatnya tahun politik. Pemilihan Capres dan
Cawapres untuk periode 2014-2019. Kandidatnya ada dua. Prabowo Subianto dan
Joko Widodo. Nyoblosnya akan dilaksanakan besok, tanggal 09 juli.
Tentu saja saat-saat ini adalah
saat hangat-hangatnya kampanye. Mungkin malah bukan hangat lagi. Tapi panas.
Dua kandidat mencoba saling salib di tikungan terakhir.
Perseteruan dua capres tersebut bukan
tak berakibat. Kurs rupiah yang memang sudah kembang-kempis sejak tahun
2013, menjadi semakin terpuruk. Susah bangkit. Meskipun harus kita akui, bahwa
pemilihan capres bukanlah faktor utama. Namun ada beberapa investor yang takut
menanamkan modal di Indonesia. Karena ketatnya persaingan dua kandidat presiden
itu.
Namun demikian rasa pesimis yang
berlebihan tetaplah bukan perasaan yang terpuji (apalagi ini lagi bulan
Ramadhan). Karena pesimis sebagian dari kekalahan. Ujung-ujungnya jika
perekonomian Indonesia jadi terpuruk (tapi moga-moga saja tidak), mereka,
orang-orang yang pesimis itu akan mengkambing hitamkan politik. Betapa
kasihannya. Dikambing hitamkan tanpa bisa memberikan perlawanan.
Cobalah tengok negara sebelah.
Filipina. Kurang ruwet apa kancah politik di Negara itu?. Politik
dinasti masih diternak dengan suburnya. Merupakan hal yang biasa jika Wali Kota
dan Wakilnya adalah ayah dan anak, atau kakak dan adik. Atau Wali Kota yang
ketika sudah habis masa jabatannya digantikan oleh istrinya atau anaknya atau
adiknya. Begitu juga gubernur. Sama saja.
Mungkin juga hanya di Filipina
ada seorang presiden yang masuk penjara karena korupsi, lalu ketika sudah
keluar dari penjara berani mencalonkan presiden lagi. Meskipun akhirnya kalah
juga. Ia tetap tak kehilagan rasa percaya diri. Gagal menjadi presiden, Ia lalu
mencalonkan diri menjadi Wali Kota. Dan menang.
Maka alangkah malunya kita jika
lantas menyalahkan politik atas memburuknya keadaan ekonomi. Jika Filipina yang
atmosfir politiknya seperti itu perekonomiannya bisa tumbuh 7,8 persen tahun
lalu, kenapa Indonesia tidak?.
Saya rasa Indonesia tetap bisa. Apalagi dua capres kita menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Yang satunya menargetkan 7 persen, dan yang lainnya menargetkan 10 persen. Saya tidak akan mencibir target-target tersebut. Apa salahnya bermimpi (baca: memiliki rencana dan target). Saya harap presiden terpilih tidak akan mengingkari janjinya. Begitu pula yang kalah, tak usahlah membawa-bawa masa untuk turun ke jalanan. Singkat saja pesan kami "menang ora umuk, kalah ora ngamuk." (DPM)
[1] [2] [3] [4]
Yogyakarta, 04 Juli 2014
Seri Antologi:[1] [2] [3] [4]
'overall' sudah bagus mas tulisannya. mungkin cuma ada sedikit masalah di redaksinya.
BalasHapuskompor gas!
hahaha... makash mas
Hapus