Sementara fotonya pake ini dulu ya, foto Buber-nya belum diupload oleh tukang fotonya |
didinmahardi.blogspot.com –
Tentang PUSAKA ini sebenarnya saya sudah pernah menuliskannya disini. Meskipun
tidak terlalu lengkap dan panjang lebar, tapi saya rasa cukup lah. Namun,
tiba-tiba saya ingin menuliskannya lagi. Tentang PUSAKA. Tentang konsep
organisasinya. Tepatnya mungkin bukan organisasi, tapi sesuatu yang lain,
semacam keluarga.
Konsep keluarga ini belum pernah
terpikirkan sebelumnya. Tapi tiba-tiba menyeruak begitu saja kemarin. Dalam
acara buka bersama, tanggal 22 Juli 2014 di Kutu Kulon, Jetis. Di kediamannya
Febrina.
Pemilihan ketua PUSAKA yang
baru-lah yang melatari munculnya konsep ini. Pemilihannya bukan dengan foting.
Tapi lebih pada kesadaran masing-masing. Setiap anggota ditanyai siapa yang
menurutnya dapat menjadi kandidat ketua PUSAKA kedepan. Tentu saja harus
disertai alasan-alasan kenapa memilih kandidat tersebut. Nah setelah
mempertimbangkan alasan-alasan masing-masing anggota, kemudian
dipertimbangkanlah siapa yang lebih berkompeten menjadi ketua PUSAKA.
Alhamdulillah sudah terpilih
ketuanya. Namanya Sapto Zahid. Sosok bersemangat dari Magetan. Magetan? Tapi
PUSAKA kan kumpulannya anak-anak Ponorogo? Tak masalah, meskipun dari Magetan
namun loyalitas dan perhatian Zahid terhadap PUSAKA tak perlu
dipertanyakan lagi. Selain itu, sebenarnya kediaman Zahid ini masih nyerempet
daerah Ponorogo. Jadi tidak masalah bukan.
Program-program PUSAKA kedepannya
pun disusun santai. Tidak kemrusung. Mengingat teman-teman semua adalah
mahasiswa aktif. Aktif dibanyak organisasi lain pula. Benar-benar keluarga yang
sakinah, mawaddah, warohmah. Saling pengertian.
Berbicara tentang konsep
organisasi yang kekeluargaan, saya jadi teringat Seri Novel Marabunta
yang ditulis oleh Afifah Afra.Selain bercerita tentang sosok kepahlawanan
Marabunta, Novel ini juga diwarnai oleh perseteruan dua mavia pengedar narkoba.
Baracuda dan Ang Tiauw (organisasi yang kedua ini dinamai dengan bahasa Mandarin, artinya Rajawali).
Setidaknya terdapat perbedaan
mencolok dalam dua organisasi mavia ini. Tentang konsep organisasinya. Barcuda
lebih diikat dalam bentuk organisasi kekeluargaan (emosional). Sedangkan
Ang Tiauw lebih terikat secara institusional.
Baracuda lebih terikat secara emosional
karena anggota-anggotanya merasa memiliki perasaan tertentu kepada pimpinannya
yang cantik jelita. Entah itu perasaan berhutang budi atau lainnya. Konsep
organisasi yang seperti ini memiliki satu keunggulan yang luar biasa. Loyalitas
dan kesetiaan para anggotanya merupakan sesuatu yang pasti. Tak perlu
diragukan. Namun, kelemahan ikatan emosional ini juga dapat dipastikan.
Jika pimpinan Baracuda yang cantik jelita itu hilang, maka saat itu akan
menjadi titik balik dari kehancuran Baracuda.
Berbeda dengan Baracuda, Ang Tiauw
lebih terikat secara institusional. Tidak ada yang menjadi inti dalam
organisasi ini. Semuanya teratur secara profesional. Antara atasan dan bawahan,
serta rekan-rekannya. Jadi seandainya pimpinan Ang Tiauw mati, organisasi
ini tidak akan kocar-kacir. Sudah ada kandidat yang akan menggantikan
posisi pimpinan tersebut. Sesuai kedudukannya dalam organisasi. Meski demikian,
Ang Tiauw bukan tidak memiliki kelemahan. Ikatan organisasi yang seperti
ini memungkinkan terjadinya penghianatan dalam organisasi tersebut. Karena
orientasi para anggotanya adalah mencari keuntungan di dalam organisasi. Jika
keuntungan tidak didapat, lantas buat apa loyalitas dipertahankan.
Terlepas dari relevansi antara
cerita Novel Marabunta yang fiksi dan realitas dikehidupan nyata, saya rasa
segala sesuatunya perlu dipertimbangkan. Karena terkadang hal-hal yang awalnya
hanya fiksi dan imajinasi, bisa saja menjadi kenyataan. Seperti kisah
percintaan sedarah misalnya. Atau biasanya justru kisah-kisah nyata-lah yang
menjadi inspirasi fiksi. Sebelum terlambat, cobalah untuk tidak memandang
sebelah mata pada karya fiksi dan imajinasi. (DPM)
Ponorogo, 23 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar