Rabu, 23 Juli 2014

Keluarga PUSAKA

Sementara fotonya pake ini dulu ya, foto Buber-nya belum diupload oleh tukang fotonya


didinmahardi.blogspot.com – Tentang PUSAKA ini sebenarnya saya sudah pernah menuliskannya disini. Meskipun tidak terlalu lengkap dan panjang lebar, tapi saya rasa cukup lah. Namun, tiba-tiba saya ingin menuliskannya lagi. Tentang PUSAKA. Tentang konsep organisasinya. Tepatnya mungkin bukan organisasi, tapi sesuatu yang lain, semacam keluarga.

Konsep keluarga ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi tiba-tiba menyeruak begitu saja kemarin. Dalam acara buka bersama, tanggal 22 Juli 2014 di Kutu Kulon, Jetis. Di kediamannya Febrina.

Pemilihan ketua PUSAKA yang baru-lah yang melatari munculnya konsep ini. Pemilihannya bukan dengan foting. Tapi lebih pada kesadaran masing-masing. Setiap anggota ditanyai siapa yang menurutnya dapat menjadi kandidat ketua PUSAKA kedepan. Tentu saja harus disertai alasan-alasan kenapa memilih kandidat tersebut. Nah setelah mempertimbangkan alasan-alasan masing-masing anggota, kemudian dipertimbangkanlah siapa yang lebih berkompeten menjadi ketua PUSAKA.

Alhamdulillah sudah terpilih ketuanya. Namanya Sapto Zahid. Sosok bersemangat dari Magetan. Magetan? Tapi PUSAKA kan kumpulannya anak-anak Ponorogo? Tak masalah, meskipun dari Magetan namun loyalitas dan perhatian Zahid terhadap PUSAKA tak perlu dipertanyakan lagi. Selain itu, sebenarnya kediaman Zahid ini masih nyerempet daerah Ponorogo. Jadi tidak masalah bukan.

Program-program PUSAKA kedepannya pun disusun santai. Tidak kemrusung. Mengingat teman-teman semua adalah mahasiswa aktif. Aktif dibanyak organisasi lain pula. Benar-benar keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Saling pengertian.

Berbicara tentang konsep organisasi yang kekeluargaan, saya jadi teringat Seri Novel Marabunta yang ditulis oleh Afifah Afra.Selain bercerita tentang sosok kepahlawanan Marabunta, Novel ini juga diwarnai oleh perseteruan dua mavia pengedar narkoba. Baracuda dan Ang Tiauw (organisasi yang kedua ini dinamai dengan bahasa Mandarin, artinya Rajawali).

Setidaknya terdapat perbedaan mencolok dalam dua organisasi mavia ini. Tentang konsep organisasinya. Barcuda lebih diikat dalam bentuk organisasi kekeluargaan (emosional). Sedangkan Ang Tiauw lebih terikat secara institusional.

Baracuda lebih terikat secara emosional karena anggota-anggotanya merasa memiliki perasaan tertentu kepada pimpinannya yang cantik jelita. Entah itu perasaan berhutang budi atau lainnya. Konsep organisasi yang seperti ini memiliki satu keunggulan yang luar biasa. Loyalitas dan kesetiaan para anggotanya merupakan sesuatu yang pasti. Tak perlu diragukan. Namun, kelemahan ikatan emosional ini juga dapat dipastikan. Jika pimpinan Baracuda yang cantik jelita itu hilang, maka saat itu akan menjadi titik balik dari kehancuran Baracuda.

Berbeda dengan Baracuda, Ang Tiauw lebih terikat secara institusional. Tidak ada yang menjadi inti dalam organisasi ini. Semuanya teratur secara profesional. Antara atasan dan bawahan, serta rekan-rekannya. Jadi seandainya pimpinan Ang Tiauw mati, organisasi ini tidak akan kocar-kacir. Sudah ada kandidat yang akan menggantikan posisi pimpinan tersebut. Sesuai kedudukannya dalam organisasi. Meski demikian, Ang Tiauw bukan tidak memiliki kelemahan. Ikatan organisasi yang seperti ini memungkinkan terjadinya penghianatan dalam organisasi tersebut. Karena orientasi para anggotanya adalah mencari keuntungan di dalam organisasi. Jika keuntungan tidak didapat, lantas buat apa loyalitas dipertahankan.

Terlepas dari relevansi antara cerita Novel Marabunta yang fiksi dan realitas dikehidupan nyata, saya rasa segala sesuatunya perlu dipertimbangkan. Karena terkadang hal-hal yang awalnya hanya fiksi dan imajinasi, bisa saja menjadi kenyataan. Seperti kisah percintaan sedarah misalnya. Atau biasanya justru kisah-kisah nyata-lah yang menjadi inspirasi fiksi. Sebelum terlambat, cobalah untuk tidak memandang sebelah mata pada karya fiksi dan imajinasi. (DPM)

Ponorogo, 23 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar