Rabu, 06 Mei 2015

Hidup Untuk Apa?



Catatan ini merupakan cerita dari tahap-tahap perkembangan pemikiran saya tentang kenapa dan untuk apa saya diciptakan. Endingnya mungkin belum sempurna. Bahkan mungkin justru melenceng sama sekali dari yang diharapkan. Tapi setidaknya inilah proses yang saya jalani. Dan seperti kata Gunawan Muhammad, bahwa seorang jagoan bukan dipandang dari hasil yang dicapainya, tetapi dari perjuangannya yang mati-matian.

Tujuan hidup dapat digambarkan sebagai sebuah cita-cita. Sejauh ingatan saya tentang cita-cita, saya dapati bahwa cita-cita pertama saya adalah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Saya lupa tepatnya kenapa saya bercita-cita menjadi TNI. Mungkin karena saya masih kecil. Dan salah satu sifat menonjol dari anak kecil adalah ingin diperhatikan. Karena itulah [mungkin] saya bercita-cita menjadi TNI. TNI yang kemana-mana menenteng senjata, pekerjaannya perang, dan postur tubuhnya yang sangar, sangat menarik dan dipandang keren dari mata anak-anak. Menjadi keren atau hebat itulah yang mendorong saya sebagai anak kecil mengidolakan dan berkeinginan menjadi TNI.

Ada cerita menarik terkait dengan cita-cita saya yang ingin menjadi TNI itu. Dan cerita ini masih memberikan pengaruh kapada saya sampai saat ini. Sebagai bocah yang berkeinginan menjadi TNI yang pekerjaannya berperang, maka saya membangun pola pikir bahwa sebagai calaon TNI, saya harus berani. Berani menghadapi apapun. Termasuk hantu-hantu. Nah pola pikir yang mengharuskan saya berani ini, menjadi hancur dan sulit saya bangun kembali sampai saat ini. Gara-garanya bermula dari obrolan saya dengan seorang saudara. Saya lupa tepatnya siapa saudara saya itu. Ingatan saya kuat mengarah pada kakak sepupu saya yang biasa saya panggil Mbak Nuril. Suatu kali Mbak Nuril berkata, “Orang yang masa kecilnya berani, nanti ketika sudah besar akan berubah menjadi penakut. Sebaliknya orang yang masa kecilnya penakut, ketika sudah besar akan menjadi berani.” Sesaat setelah mendengar kalimat tersebut, saya lantas membangun pola pikir baru. Saya harus menjadi penakut. Agar kelak ketika sudah besar menjadi sosok yang pemberani. Dan mulai saat itulah saya menjadi penakut. Terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hantu. Sampai sekarang pun saya masih phobia hantu. Keberanian yang saya tunggu-tunggu tak kunjung datang. Ah Mbak Nuril, doktrin yang kau berikan pada masa kita kanak-kanak dulu itu, efeknya masih juga ada sampai sekarang.

Cerita tentang cita-cita saya yang ingin menjadi TNI itu terjadi ketika saya belum memasuki Sekolah Dasar (SD). Memasuki Sekolah Dasar, cita-cita saya masih terpengaruh dengan keinginan untuk selalu diperhatikan. Dan saat itu, sedikit terpengaruh juga dari budaya latah. Seperti kebanyakan anak-anak SD, saya juga pernah bercita-cita menjadi pilot. Kan keren bisa mengendalikan pesawat yang terbang.

Bahkan saya juga pernah bercita-cita menjadi sopir taksi. Menjadi sopir mobil, saya anggap keren ketika itu. Karena pada masa-masa saya SD, masih minim sekali mobil yang berlalu lalang di daerah saya. Dan pekerjaan yang mendukung agar saya bisa mengendarai mobil adalah menjadi sopir taksi.

Diakhir-akhir masa saya di Sekolah Dasar, bahkan sampai masuk ke Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya memiliki cita-cita menjadi Profesor. Saat itu saya belum tahu apa itu definisi Profesor. Pokonya Profesor itu orang yang keren. Loh kok tau kalau Profesor itu keren? Iya, karena dari televisi yang saya tonton, Profesor selalu digambarkan sebagai orang yang mengendalikan mesin-mesin canggih. Saya baru tahu definisi Profesor pada masa-masa akhir MTs saya. Mulai saat itu, cita-cita saya menjadi berubah. Bukan menjadi Profesor lagi, tetapi menjadi ilmuan.

Mamasuki Madrasah Aliyah (MA) cita-cita saya berubah lagi. Karena saya sadar, kalau cita-cita saya yang ingin menjadi ilmuan itu akan sulit terwujud. Pasalnya, saya tidak ahli dalam mata pelajaran yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Seperti mata pelajaran Matematika, Kimia, Fisika, dan lain-lainnya. Baru pada pertengahan pendidikan saya di Madrasah Aliyah, pada saat-saat menyusun Paper (Karya Ilmiah/Tugas Akhir Madrasah), saya sempat membaca cita-cita seorang guru saya yang pernah dituliskan di Papernya dulu (guru saya juga alumni MA yang sama dengan saya). Guru saya itu menuliskan bahwa cita-citanya ingin menjadi orang kaya yang dermawan dan sederhana. Hemm,, betapa luar biasanya pikir saya. Semenjak saat itulah saya juga bercita-cita menjadi orang kaya yang sederhana dan dermawan. Cita-cita saya itu terbawa sampai ke bangku Perguruan Tinggi.

Baru pada akhir-akhir ini saja saya mulai bertanya-tanya. Hidup ini untuk apa? Untuk apa Allah menciptakan saya? Jika menilik pada Al Quran, Allah pernah berfirma, wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun. “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. Pertanyaannya ibadah seperti apa yang dikehendaki Allah?

Para Kyai, para Ustadz, dan banyak tokoh agama yang menafsiri kata “ibadah” di atas tidak harus berupa ibadah Mahdhoh. Seperti sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Tetapi bisa berbentuk pekerjaan yang sifatnya keduniawian yang penting diniati ibadah. Misalnya seorang suami yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, jika diniati ibadah, maka waktu yang Ia habiskan untuk bekerja itu juga terhitung ibadah. Atau seorang pelajar yang menghabiskan waktunya di sekolahan, jika diniati ibadah, maka waktu-waktu yang Ia gunakan untuk belajar itu juga merupakan ibadah.

Tapi saya tidak bisa seperti itu. Jangankan meniati pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan untuk beribadah, sholat yang notabenenya adalah ibdah mahdhoh itupun tidak bisa saya lakukan dengan menghadirkan hati saya. Sholat-sholat yang saya lakukan, kebanyakan hanya sebagai rutinitas untuk menggugurkan kewajiban agama saja. Sedikit sekali sholat yang saya lakukan benar-benar sebagai sarana berkomunikasi dengan Allah.

Bertolak dari pemikiran saya yang tidak bisa mengerjakan segala sesuatu atas landasan ibadah itulah, maka saya simpulkan sendiri bahwa hidup adalah untuk memberi. Memberikan apapun sebisa-bisa kita. Meskipun itu hanya berbentuk pasir secauk. Yang penting hidup kita dapat beranfaat untuk orang lain. Sekecil apapun itu.

Dalam rangka memberi itu pulalah maka saya menulis. Menyumbangkan wawasan dan pengetahuan saya kepada peradaban. Syukur-syukur kalau khalayak pembaca dapat mengabil manfaat dari tulisan yang saya torehkan. Kalaupun tak ada manfaatnya, setidaknya tulisan-tulisan saya akan dapat menjadi semacam pengingat, bahwa di dunia ini pernah hidup seorang Didin yang tulisan-tulisannya kosong belaka. Jangan kalian tiru.

Dari orientasi saya tentang hidup untuk memberi itu, kemudian Allah menghendaki saya untuk berkembang lebih. Berkembang lebih dalam hal orientasi hidup yang hanya untuk memberi itu, menjadi untuk mengabdi. Mengabdi kepada siapa? Tentu saja kepada Allah dan kebajikan-kebajikan.
Insprasi yang mendorong atau mengubah orientasi hidup saya itu, bermula dari pembacaan saya terhadap surat R. A. Kartini kepada Nyonya M. C. E. Ovink – Soer dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam awal suratnya R. A. Kartini menceritakan tentang keinginannya menjadi guru. Serta keinginannya belajar ke negeri Belanda. Karena waktu itu, negeri Belanda dianggap sebagai kiblat pengetahuan. Setidaknya oleh orang-orang Indonesia. Namun keinginan itu harus kandas. Karena adat Jawa yang belum memperbolehkan perempuan untuk keluar rumah. Dalam masa itu, perempuan remaja harus dipingit. Dunianya hanya selebar lingkungan rumahnya. Menanti-nanti suami yang akan datang atas pilihan orang tuanya.

Kandasnya keinginan R. A. Kartini itu yang kemudian menyadarkannya tentang manusia yang hanya bisa berkeinginan tetapi Tuhan yang akan menentukan. Menyadarkannya bahwa sekali-kali manusia tidak boleh terlalu percaya pada keinginan dan kemampuan dirinya sendiri. Melainkan juga harus menyandarkan kengininannya pada kehendak dan kuasa Tuhan. Berikut saya cuplikkan salah satu paragraf dari surat R. A. Kartini yang meng-inspirasi saya itu:

“Ada kekuasaan yang lebih tinggi, lebih besar daripada semua kekuasaan yang dipersatukan di dunia ini. Ada kemauan yang lebih kuat, lebih kuasa daripada segala kemauan manusia bersama-sama. Celakalah manusia yang terkubur oleh kamuan raksasanya sendiri yang keras bagaikan besi! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus ada pada kita, yaitu kemauan mengabdi kepada kebajikan!”

Nah kalimat terakhir dari paragaraf itulah yang meng-inspirasi saya. Kalau hidup adalah untuk mengabdi. Mengabdi kepada kebajikan. Dan kalau dipikir-pikir, kata “mengabdi” ini sama maknanya dengan kata liya’budun dalam firman Allah di atas.

Kayta liya’budun dalam firman Allah itu ber-sighot fi’il. Tepatnya adalah fi’il mudhori’. Dan sighot fi’il ini mengindikasikan bahwa Ia membutuhkan maf’ul (objek). Ketika saya konsultasikan dengan guru ngaji saya tentang liya’budun yang belum ada objeknya itu, beliau mengatakan bahwa objek dari ayat itu adalah Allah itu sendiri. Kan huruf nun dari kata liya’budun berharokat kasroh? Nah itu mengindikasikan bahwa ada huruf ­ya mutakallim yang dibuang. Jika dilengkapi maka makna dari ayat di atas adalah “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah/mengabdi kepadaku”.

Tidak masalah jika guru saya berpendapat demikian. Pengabdian kepada Allah juga dapat kita artikan sebagai pengabdian kepada kebajikan. Karena tidak ada satupun perintahNya yang mengarah kepada keburukan. Kan tetap selaras antara tujuan hidup yang saya dapat dari pembacaan terhadap surat R. A. Kartini (mengabdi kepada kebajikan) dengan mengabdi kepada Allah itu sendiri.

Mungkin penafsiran dan pencarian saya ini belumlah final, karena tidak ada kata final dalam perjuangan menuju perbaikan. Tetapi setidaknya kesimpulan sementara ini sudah cukup melegakan hati saya sebagai bagian dari manusia dan makhluk Allah.

 Yogyakarta, 05 Mei 2015

1 komentar:

  1. Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
    Agen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik

    BalasHapus