Catatan ini merupakan cerita dari
tahap-tahap perkembangan pemikiran saya tentang kenapa dan untuk apa saya
diciptakan. Endingnya mungkin belum sempurna. Bahkan mungkin justru melenceng
sama sekali dari yang diharapkan. Tapi setidaknya inilah proses yang saya
jalani. Dan seperti kata Gunawan Muhammad, bahwa seorang jagoan bukan dipandang
dari hasil yang dicapainya, tetapi dari perjuangannya yang mati-matian.
Tujuan hidup dapat digambarkan sebagai
sebuah cita-cita. Sejauh ingatan saya tentang cita-cita, saya dapati bahwa
cita-cita pertama saya adalah menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Saya
lupa tepatnya kenapa saya bercita-cita menjadi TNI. Mungkin karena saya masih
kecil. Dan salah satu sifat menonjol dari anak kecil adalah ingin diperhatikan.
Karena itulah [mungkin] saya bercita-cita menjadi TNI. TNI yang kemana-mana
menenteng senjata, pekerjaannya perang, dan postur tubuhnya yang sangar, sangat
menarik dan dipandang keren dari mata anak-anak. Menjadi keren atau hebat
itulah yang mendorong saya sebagai anak kecil mengidolakan dan berkeinginan
menjadi TNI.
Ada cerita menarik terkait dengan
cita-cita saya yang ingin menjadi TNI itu. Dan cerita ini masih memberikan
pengaruh kapada saya sampai saat ini. Sebagai bocah yang berkeinginan menjadi
TNI yang pekerjaannya berperang, maka saya membangun pola pikir bahwa sebagai
calaon TNI, saya harus berani. Berani menghadapi apapun. Termasuk hantu-hantu.
Nah pola pikir yang mengharuskan saya berani ini, menjadi hancur dan sulit saya
bangun kembali sampai saat ini. Gara-garanya bermula dari obrolan saya dengan
seorang saudara. Saya lupa tepatnya siapa saudara saya itu. Ingatan saya kuat
mengarah pada kakak sepupu saya yang biasa saya panggil Mbak Nuril. Suatu kali
Mbak Nuril berkata, “Orang yang masa kecilnya berani, nanti ketika sudah besar
akan berubah menjadi penakut. Sebaliknya orang yang masa kecilnya penakut,
ketika sudah besar akan menjadi berani.” Sesaat setelah mendengar kalimat
tersebut, saya lantas membangun pola pikir baru. Saya harus menjadi penakut.
Agar kelak ketika sudah besar menjadi sosok yang pemberani. Dan mulai saat
itulah saya menjadi penakut. Terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
hantu. Sampai sekarang pun saya masih phobia hantu. Keberanian yang saya
tunggu-tunggu tak kunjung datang. Ah Mbak Nuril, doktrin yang kau berikan pada
masa kita kanak-kanak dulu itu, efeknya masih juga ada sampai sekarang.
Cerita tentang cita-cita saya
yang ingin menjadi TNI itu terjadi ketika saya belum memasuki Sekolah Dasar
(SD). Memasuki Sekolah Dasar, cita-cita saya masih terpengaruh dengan keinginan
untuk selalu diperhatikan. Dan saat itu, sedikit terpengaruh juga dari budaya
latah. Seperti kebanyakan anak-anak SD, saya juga pernah bercita-cita menjadi
pilot. Kan keren bisa mengendalikan pesawat yang terbang.
Bahkan saya juga pernah
bercita-cita menjadi sopir taksi. Menjadi sopir mobil, saya anggap keren ketika
itu. Karena pada masa-masa saya SD, masih minim sekali mobil yang berlalu
lalang di daerah saya. Dan pekerjaan yang mendukung agar saya bisa mengendarai
mobil adalah menjadi sopir taksi.
Diakhir-akhir masa saya di
Sekolah Dasar, bahkan sampai masuk ke Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya memiliki
cita-cita menjadi Profesor. Saat itu saya belum tahu apa itu definisi Profesor.
Pokonya Profesor itu orang yang keren. Loh kok tau kalau Profesor itu keren?
Iya, karena dari televisi yang saya tonton, Profesor selalu digambarkan sebagai
orang yang mengendalikan mesin-mesin canggih. Saya baru tahu definisi Profesor
pada masa-masa akhir MTs saya. Mulai saat itu, cita-cita saya menjadi berubah.
Bukan menjadi Profesor lagi, tetapi menjadi ilmuan.
Mamasuki Madrasah Aliyah (MA)
cita-cita saya berubah lagi. Karena saya sadar, kalau cita-cita saya yang ingin
menjadi ilmuan itu akan sulit terwujud. Pasalnya, saya tidak ahli dalam mata
pelajaran yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Seperti mata pelajaran
Matematika, Kimia, Fisika, dan lain-lainnya. Baru pada pertengahan pendidikan
saya di Madrasah Aliyah, pada saat-saat menyusun Paper (Karya Ilmiah/Tugas
Akhir Madrasah), saya sempat membaca cita-cita seorang guru saya yang pernah
dituliskan di Papernya dulu (guru saya juga alumni MA yang sama dengan saya).
Guru saya itu menuliskan bahwa cita-citanya ingin menjadi orang kaya yang
dermawan dan sederhana. Hemm,, betapa luar biasanya pikir saya. Semenjak saat
itulah saya juga bercita-cita menjadi orang kaya yang sederhana dan dermawan. Cita-cita
saya itu terbawa sampai ke bangku Perguruan Tinggi.
Baru pada akhir-akhir ini saja
saya mulai bertanya-tanya. Hidup ini untuk apa? Untuk apa Allah menciptakan
saya? Jika menilik pada Al Quran, Allah pernah berfirma, wa maa kholaqtul
jinna wal insa illa liya’budun. “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah”. Pertanyaannya ibadah seperti apa yang dikehendaki
Allah?
Para Kyai, para Ustadz, dan
banyak tokoh agama yang menafsiri kata “ibadah” di atas tidak harus berupa
ibadah Mahdhoh. Seperti sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Tetapi bisa berbentuk pekerjaan yang sifatnya keduniawian yang penting diniati
ibadah. Misalnya seorang suami yang bekerja untuk menafkahi keluarganya, jika
diniati ibadah, maka waktu yang Ia habiskan untuk bekerja itu juga terhitung
ibadah. Atau seorang pelajar yang menghabiskan waktunya di sekolahan, jika
diniati ibadah, maka waktu-waktu yang Ia gunakan untuk belajar itu juga
merupakan ibadah.
Tapi saya tidak bisa seperti itu.
Jangankan meniati pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan untuk beribadah, sholat
yang notabenenya adalah ibdah mahdhoh itupun tidak bisa saya lakukan
dengan menghadirkan hati saya. Sholat-sholat yang saya lakukan, kebanyakan
hanya sebagai rutinitas untuk menggugurkan kewajiban agama saja. Sedikit sekali
sholat yang saya lakukan benar-benar sebagai sarana berkomunikasi dengan Allah.
Bertolak dari pemikiran saya yang
tidak bisa mengerjakan segala sesuatu atas landasan ibadah itulah, maka saya
simpulkan sendiri bahwa hidup adalah untuk memberi. Memberikan apapun
sebisa-bisa kita. Meskipun itu hanya berbentuk pasir secauk. Yang penting hidup
kita dapat beranfaat untuk orang lain. Sekecil apapun itu.
Dalam rangka memberi itu pulalah maka
saya menulis. Menyumbangkan wawasan dan pengetahuan saya kepada peradaban.
Syukur-syukur kalau khalayak pembaca dapat mengabil manfaat dari tulisan yang
saya torehkan. Kalaupun tak ada manfaatnya, setidaknya tulisan-tulisan saya
akan dapat menjadi semacam pengingat, bahwa di dunia ini pernah hidup seorang
Didin yang tulisan-tulisannya kosong belaka. Jangan kalian tiru.
Dari orientasi saya tentang hidup
untuk memberi itu, kemudian Allah menghendaki saya untuk berkembang lebih. Berkembang
lebih dalam hal orientasi hidup yang hanya untuk memberi itu, menjadi untuk
mengabdi. Mengabdi kepada siapa? Tentu saja kepada Allah dan kebajikan-kebajikan.
Insprasi yang mendorong atau
mengubah orientasi hidup saya itu, bermula dari pembacaan saya terhadap surat
R. A. Kartini kepada Nyonya M. C. E. Ovink – Soer dalam buku Habis Gelap
Terbitlah Terang. Dalam awal suratnya R. A. Kartini menceritakan tentang
keinginannya menjadi guru. Serta keinginannya belajar ke negeri Belanda. Karena
waktu itu, negeri Belanda dianggap sebagai kiblat pengetahuan. Setidaknya oleh
orang-orang Indonesia. Namun keinginan itu harus kandas. Karena adat Jawa yang
belum memperbolehkan perempuan untuk keluar rumah. Dalam masa itu, perempuan
remaja harus dipingit. Dunianya hanya selebar lingkungan rumahnya. Menanti-nanti
suami yang akan datang atas pilihan orang tuanya.
Kandasnya keinginan R. A. Kartini
itu yang kemudian menyadarkannya tentang manusia yang hanya bisa berkeinginan
tetapi Tuhan yang akan menentukan. Menyadarkannya bahwa sekali-kali manusia
tidak boleh terlalu percaya pada keinginan dan kemampuan dirinya sendiri. Melainkan
juga harus menyandarkan kengininannya pada kehendak dan kuasa Tuhan. Berikut saya
cuplikkan salah satu paragraf dari surat R. A. Kartini yang meng-inspirasi saya
itu:
“Ada kekuasaan yang lebih tinggi,
lebih besar daripada semua kekuasaan yang dipersatukan di dunia ini. Ada
kemauan yang lebih kuat, lebih kuasa daripada segala kemauan manusia
bersama-sama. Celakalah manusia yang terkubur oleh kamuan raksasanya sendiri
yang keras bagaikan besi! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus ada pada
kita, yaitu kemauan mengabdi kepada kebajikan!”
Nah kalimat terakhir dari
paragaraf itulah yang meng-inspirasi saya. Kalau hidup adalah untuk mengabdi. Mengabdi
kepada kebajikan. Dan kalau dipikir-pikir, kata “mengabdi” ini sama maknanya
dengan kata liya’budun dalam firman Allah di atas.
Kayta liya’budun dalam
firman Allah itu ber-sighot fi’il. Tepatnya adalah fi’il
mudhori’. Dan sighot fi’il ini mengindikasikan bahwa Ia
membutuhkan maf’ul (objek). Ketika saya konsultasikan dengan guru ngaji
saya tentang liya’budun yang belum ada objeknya itu, beliau mengatakan
bahwa objek dari ayat itu adalah Allah itu sendiri. Kan huruf nun dari
kata liya’budun berharokat kasroh? Nah itu mengindikasikan bahwa ada
huruf ya mutakallim yang dibuang. Jika dilengkapi maka makna dari ayat
di atas adalah “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah/mengabdi
kepadaku”.
Tidak masalah jika guru saya
berpendapat demikian. Pengabdian kepada Allah juga dapat kita artikan sebagai
pengabdian kepada kebajikan. Karena tidak ada satupun perintahNya yang mengarah
kepada keburukan. Kan tetap selaras antara tujuan hidup yang saya dapat dari
pembacaan terhadap surat R. A. Kartini (mengabdi kepada kebajikan) dengan
mengabdi kepada Allah itu sendiri.
Mungkin penafsiran dan pencarian
saya ini belumlah final, karena tidak ada kata final dalam perjuangan menuju
perbaikan. Tetapi setidaknya kesimpulan sementara ini sudah cukup melegakan
hati saya sebagai bagian dari manusia dan makhluk Allah.
Yogyakarta, 05 Mei 2015
Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
BalasHapusAgen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik