Seorang kawan, yang entah karena
apa, tiba-tiba berkata. “Din, gimana caranya agar kuiliah cepat rampung? Beri
aku motivasi”. Lah saya langsung plonga-plongo. La wong saya ini
gak bisa apa-apa kok dimintai motivasi.
Selama ini saya lebih banyak
mengandalkan doa apabila mengiginkan sesuatu. Atau biasanya saya hanya ingin
saja, dan tiba-tiba sesuatu itu diberikan secara cuma-cuma oleh Gusti Allah.
Selain senang, terkadang saya juga bertanya-tanya. Memangnya apa kebaikan yang
pernah saya lakukan? Kok Gusti Allah begini baiknya kepada saya? Jangan-jangan
semua ini adalah cobaan? Entahlah, siapa yang tahu dan dapat menyelami
bagaimana atau apa yang dikehendaki oleh Gusti Allah dengan semua ini. Yang
jelas, sebagai makhluk yang tak bisa apa-apa, sudah semestinyalah saya
mengucapkan beribu syukur.
Sekali waktu saya juga pernah
menduga-duga bahwa kasih sayang Gusti Allah yang begitu melimpah itu gara-gara wirid/amalan
yang saya amalkan secara mudawamah (istiqomah). Kan ada Ulama
yang pernah berkata bahwa “al istiqomatu khoirum min alfi karomatin”.
Bahwa istiqomah itu lebih utama daripada seribu karomah. Yup, wiridan ini
pertama kali saya amalkan ketika saya kelas dua MA (Madrasah Aliyah). Tanggal
tepatnya saya tidak ingat. Yang jelas tidak lama sebelum ujian semester ganjil.
Alhamdulillah sampai sekarang wiridan ini masih saya amalkan.
Motivasi saya melanggengkan wirid
ini bukan timbul dari diri saya sendiri. Tapi dari luar. Dari KH. Abdus Sami’
Hasyim. Suatu hari, selepas jamaah shalat maghrib, tiba-tiba Kyai saya itu
berkata. “Santri-santri mulai sekarang setiap ba’da sholat maghrib dan ba’da
sholat shubuh baca sholawat munjiyat satu kali saja”. Kurang lebih
seperti itu dawuh yang beliau sampaikan. Hanya menyuruh membaca, dan
sama sekali tidak memberitahukan kenapa kami harus membaca sholawat munjiyat
itu. Dari ribuan santri di Pesantren saya itu, saya yakin akan tetap ada yang
tidak manut pada dawuh Romo Kyai. Dan alhamdulillah saya
termasuk dalam bagian yang manut. Meskipun membabi buta, tanpa tahu
kenapa harus mengamalkan ini. Niat saya satu-satunya adalah manut atau
patuh pada dawuh Kyai.
Bertolak dari pengalaman saya
itu, saya lantas menganjurkan kepada kawan yang meminta motivasi dari saya itu
agar Ia memiliki satu amalan yang didawamkan, diistiqomahkan.
Tidak perlu yang hebat-hebat. Cukup satu meskipun sederhana yang penting
langgeng. Istiqomah. Karena KH. Hasyim Sholeh, pendiri Pon. Pes. Darul
Huda Ponorogo juga pernah dawuh yang kurang lebih seperti ini. “Amalan itu
menjadi luar biasa bukan karena amalan itu memang luar biasa. Tapi karena Ia
diamalkan secara istiqomah”. Dan yang namanya amalan tidak harus sesuatu
yang bersifat religius. Bisa juga hal-hal yang bersifat keduniawian.
Membersihkan jalan gang di depan rumah kita misalnya, atau menata rak buku
teman sekamar bagi yang tinggal dalam asrama/pesantren. Jika dilakukan secara
tulus dan istiqomah, insyaallah akan memberikan efek yang luar biasa.
“Dahulu, ketika masih di Pondok
(Jombang) saya juga sering sholat malam. Tapi sekarang susah untuk meneruskan
kebiasaan itu.” Kata kawan saya. Hemm,, dari sekitar tujuh miliar penduduk
bumi, berapa persen-kah yang mampu melawan dirinya sendiri. Sedangkan perang
badar yang demikian dahsyatnya itu, masih kalah dahsyat daripada jika kita
berperang melawan hawa nafsu, diri kita sendiri. Ternyata memang benar, kawan
saya itu mampu melakukan sholat malam di Pesantren-nya dulu bukan lantaran
dorongan dari dirinya sendiri. Melainkan ada dorongan lain.
Kawan saya itu dapat bangun dini
hari karena Ia memerlukan untuk mengisi daya baterai Hp-nya. Entah karena apa
Ia harus mengisi baterai HP pada waktu dini hari itu. Yang jelas, karena
memerlukan mengisi baterai HP yang waktunya harus dini hari itulah aka kawan
saya dapat bangun dan melaksanakan sholat malam.
Menyadari bahwa menumbuhkan
kesadaran dari diri sendiri itu susahnya luar biasa, lantas saya anjurkan agar
kawan saya itu mencari motivasi yang sifatnya dari luar. Seperti yang saya
lakukan itu. Dapat mendawamkan sholawat munjiyat karena ada dorongan
dari luar. Dari Kyai saya itu.
Agar lebih mudah, lantas saya
sampaikan gagasan yang pernah disampaikan oleh guru Pencak saya, Iman Widodo.
Bedakan antara murid dan pengagum. Gagasan ini penting untuk disampaikan,
karena tanpa kita sadari, banyak di antara kita yang secara sekilas tampak
sebagai murid, tapi pada hakikatnya hanya berhenti menjadi pengagum. Contohnya
banyak santri yang kagum pada ke-istiqomah-an Kyainya. Namun Ia hanya kagum.
Tidak berusaha bagaimana agar dapat meniru sifat istiqomah Pak Kyai tersebut.
Padahal Pak Kyai itu adalah gurunya. “Guru” yang dalam bahasa Jawa sering
diartikan sebagai kependekan dari “digugu lan ditiru”, diperhatikan dan
ditiru, kini hanya berhenti pada diperhatikan dan dikagumi. Tidak lantas
ditiru. Betapa ironisnya.
Jadi sekali lagi kawan, jika
engkau mengaku santri dari KH. Hasyim Asyy’ari, atau ulama besar lain misalnya.
Cobalah lihat bagaimana perjalanan hidup Mbah Hasyim, atau siapapun gurumu itu,
kemudian tirulah. Karena guru ada untuk digugu dan ditiru. Kemudian
dikembangkan sebisa-bisa kita.
Yogyakarta, 13 April 2015
Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
BalasHapusAgen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik