Jumat, 05 Juni 2015

Rupa Tuhan



Yen mung rupa sing gawe atimu tresno, banjur kepiye anggonmu tresna marang Gusti sing tanpa rupa?  Jika hanya rupa yang membuat hatimu cinta, lantas bagaimana caramu mencintai Tuhan yang tanpa rupa?

Saya tidak sengaja menemukan kalimat di atas dalam pelayaran saya di dunia maya. Tertera di atas gambar tokoh wayang Semar.

Jika dibaca sekilas kalimat di atas hanya akan tampak sebagai ungkapan remaja-remaja kasmaran belaka. Tapi jika pelan-pelan kita renungkan maka akan tampak sebuah makna yang sebenarnyalah mendalam. Mempertanyakan bagaimanakah rupa tuhan itu. Sebuah pertanyaan yang lebih mengarah kepada filsafat sebenarnya.

Sebelum terlalu jauh, dan tanpa niatan menyinggung isu SARA, saya terangkan bahwa Tuhan yang saya maksud disini adalah Tuhan Allah. Tuhannya kaum muslimin yang tak berwujud.

Asy‘ariyah sebagai salah satu madzhab teologi ketuhanan kaum muslim, mensyaratkan bahwa dzat yang bisa disebut tuhan memiliki sifat yang wajib dimiliki. Sifat-sifat tersebut jumlahnya mencapai dua puluh sifat. Dan sifat pertama yang harus dimiliki oleh Tuhan adalah Maujud, ada.

Lantas bagaimana cara membuktikan bahwa Tuhan itu ada sedangkan Ia tidak dapat di indera? Kaum asy’ariyah memberikan analogi sederhana yang menarik. Bukti wujudnya Tuhan adalah wujudnya jagad raya ini. Sebuah analogi yang simple bukan. Karena jika bukan Tuhan lantas siapa yang mewujudkan jagad yang begini teratur dan saling lengkap-melengkapi.

Kisah-kisah tentang pencarian wujud Tuhan sebenarnya sudah banyak sekali. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Kisah yang meskipun dialami oleh seorang Nabi bahkan Rasul utusan Tuhan itu sendiri, namun tetap dapat kita hayati sebagai kisah yang dialami oleh manusia biasa. Yang tidak terlepas dari trial and error. Mencoba dan gagal.

Dalam proses pencariannya akan Tuhan, informasi yang pertama-tama diterima oleh Nabi Ibrahim justru datang dari orang-orang musyrik yang menyembah berhala, patung. Bahwa patung-patung yang mereka buat itu, itulah Tuhan yang harus disembah. Namun akal sehat Nabi Ibrahim menolak. Bernarkah patung-patung yang tidak dapat memberikan manfaat pada dirinya sendiri itu dapat memberikan manfaat kepada orang lain?

Dan dimulailah pencarian Nabi Ibrahim akan “sesuatu” yang pantas disebut Tuhan. Sekali waktu Nabi Ibrahim menganggap bahwa bintang itulah Tuhan. Tapi bintang itu mengecewakannya, karena ia menghilang. Diwaktu yang lain, Nabi Ibrahim juga menganggap bahwa bulan itu Tuhan. Namun bulan itu pun tidak memuaskannya. Kemudian Nabi Ibrahim juga menganggap bahwa matahari adalah Tuhan, matahari dirasa lebih kuat daripada bintang dan bulan. Tapi toh matahari itupun tenggelam pula.

Sampai akhirnya Nabi Ibrahim menemukan sebuah kesimpulan. Bahwa segala sesuatu yang Ia lihat itu tidak layak disebut sebagai Tuhan. Karena memiliki berbagai keterbatasan. Hanya ada satu Dzat yang Ia yakini sebagai Tuhan. Ialah Dzat yang Menciptakan dan Memusnahkan. Ialah Allah Azza wa Jalla.

Jangan dikira bahwa pencarian Nabi Ibrahim akan Tuhan itu cuma berlangsung tiga hari. Pencarian yang demikian tentu memerlukan waktu yang panjang. Membutuhkan tak hanya bulan, tapi bertahun-tahun. Mungkin juga menggoncang jiwa Nabi Ibrahim itu sendiri. Karena Ia harus mengalami banyak kegagalan. Begitu panjang proses yang harus dilewati oleh Nabi Ibraim, maka ketika ditemukannya suatu keyakinan akan Tuhan, maka keyakinan itu menancap begitu dalam kelubuk hatinya. Tak tergoyahkan meskipun harus menyembelih putranya sendiri.

Meskipun endingnya Nabi Ibrahim belum melihat bagaimana wujud Tuhan itu, namun Ia sudah menemukannya. Bukan dengan pancaindera yang lima. Tapi dengan mata hati. Karena apalah daya pancaindera kita ini. Bahkan Nabi Musa yang dengan sekali pukul mampu membunuh lawannya itu pun tak mampu melihat Allah dengan mata wadagnya.

Jika dengan indera keenam (hati) kita dapat melihat, mendengar, dan sekaligus merasakan adanya Tuhan, maka dengan panca indera lima lainnya kita dapat membuktikan penglihatan hati kita itu dengan mengobservasi tanda-tanda keberadaannya yang berserakan di jagad raya. 

Yogyakarta, 04 Juni 2015

4 komentar: