Sumber: surabaya.olx.co.id |
Klik diSini Untuk Membaca Bagian 1
Ta’ziyah siang hari dirumah Mbah paitun berjalan biasa saja. Hal-hal yang diperbincangkan juga biasa saja. Tak jauh-jauh tentang kematian. Selebihnya hanya obrolan-obrolan orang tua, yang profesinya hampir sama semua. Petani.
Ta’ziyah siang hari dirumah Mbah paitun berjalan biasa saja. Hal-hal yang diperbincangkan juga biasa saja. Tak jauh-jauh tentang kematian. Selebihnya hanya obrolan-obrolan orang tua, yang profesinya hampir sama semua. Petani.
Keesokan
harinya (hari selasa) Kakek kembali mengajak ta’ziyah. Kali ini kerumah
Mbah Nolo. Disambut oleh istri beliau. Diawal-awal kunjungan kami kerumah Mbah
Nolo juga berjalan biasa-biasa saja. Namun ketika ada sanak family yang mohon
diri untuk pamit, Istri Mbah Nolo menahannya. Bahkan terkesan agak memaksa.
Melihat hal itu kamipun urung untuk turut pamit.
Oalah,
ternyata hari itu akan ada selamatan tiga hari meninggalnya Mbah Nolo.
Tamu-tamu dari tetangga sekitar diundang. Hidangan pun disajikan.
Tentu saja
mata saya langsung tertuju pada macam-macam hidangan yang disajikan. Hidangan
selamatan khas Jawa. Dalam benak saya tefikir hidangan yang seperti inilah yang
disebut tumpeng. Tiba-tiba terbersit dalam benak saya. Kenapa selalu hidangan
yang seperti ini yang disajikan dalam selamatan-selamatan Jawa. Tentu ada makna
tersendiri. Ingin langsung bertanya pada Kakek yang saat itu duduk di sebelah
saya, nggak enak. Takut merusak suasana. Akhirnya saya pendam pertanyaan ini
sampai dirumah.
Keesokan
harinya (hari rabu) saya tanyakan makna tumpeng pada Bibi saya dari pihak Ayah.
Sayang beliau tidak tau. Tak puas, sayapun menuju ke rumah Kakek yang letaknya
bersebelahan. Kebetulan ada Nenek. Sambil membewakan sarapan dan dua gelas teh
untuk Nenek dan Kakek dimulailah wawancara bebas kami.
“Buceng
Kuwat itu artinya agar kita selalu diberi kesehatan dan kekuatan” ucap
Nenek menjawab pertanyaan pertama saya (percakapan kami sebenarnya berlangsung
dalam bahasa Jawa). Buceng Kuwat adalah nama untuk nasi yang dibentuk
runcing menyerupai gunung.
Selain Buceng
Kuwat, ada juga nasi yang dibentuk kecil-kecil setengah lingkaran. Saya
lupa namanya. Jumlahnya ada dua belas. Dua belas adalah hasil penjumlahan dari
lima dan tuju. Maksudnya jumlah hari dalam seminggu menurut penanggalan jawa (pahing,
pon, kliwon, dst) dan penanggalan masehi (senin, selasa, rabu, dst).
Sedangkan dua belas adalah jumlah bulan dalam satu tahun. Saya tidak menanyakan
lebih jauh tentang makna makanan tersebut. Mungkin agar kita selalu diberi
kesehatan setiap hari sepanjang tahun dan masa.
Ada juga nasi
yang diatasnya diberi ayam bakar. Yang ini namanya Male Rasul. Maksudnya
agar kita semua mengingat Rasulullah Muhammad SAW. Selain Male Rasul,
ada juga Male Luhur. Yang ini berupa nasi yang diatasnya diberi parutan
kelapa goring. Atau dalam istilah jawanya dinamakan serondeng. Maksud
dari Male Luhur adalah agar kita mengingat dan mendoakan leluhur. Sedangkan Tumpeng
ternyata adalah nama dari gundukan nasi. Katanya tidak ada maknanya. Hanya nama
saja.
Itu
semua adalah yang saya lihat dalam selamatan tiga hari meninggalnya Mbah Nolo.
Namun dalam selamatan-selamatan lain seperti hari kelahiran biasanya ada menu
tambahan. Menu tambahan ini biasanya Jenang Abang (Jenang Merah), atau
biasanya jika tidak ada Jenang, diganti dengan nasi yang diberi kecap. Jenang
ini menurut Nenek namanya Male Sedulur. Maksudnya agar ingat saudara
kita. Namun saudara disini bukan saudara kandung atau saudara dalam arti umum.
Saudara yang dimaksud adalah Kakang Kawah – Adi Ari-ari.
Kakang
Kawah – Adi Ari-ari, maksudnya adalah air ketuban (Kakang Kawah) dan
ari-ari (Adi Ari-ari). Saya kurang tau apa tujuannya mengingat air
ketuban dan ari-ari. Mungkin agar kita ingat terhadap ibu kita. Orang yang
mengorbankan segalanya bahkan nyawanya sendiri demi kita.
Makna simbolik diatas hanya sebagian kecil dari
banyak tradisi di Jawa. Masih ada tradisi Mantenan, bentuk-bentuk rumah, dan
lain-lainnya. Asal usul tradisi seperti itupun kurang dapat diketahui. Mungkin
dari wali songo selaku penyebar islam ditanah Jawa. Bisa juga dari Ulama lain
yang menyebarkan Islam di daerah tersebut. Segalanya masih serba remang-remang.
Perlu penelitian mendalam untuk mengungkapkannya. (*)
njajal komen gan. . .
BalasHapushttp://didinmahardi.blogspot.com
BalasHapushttp://didinmahardi.blogspot.com
BalasHapushttp://didinmahardi.blogspot.com
BalasHapus