didinmahardi.blogspot.com
– Cerita ini saya awali dari kegalauan saya. Tepatnya mungkin bukan galau. Tapi
takut. Takut jika tidak mendapat ridho Guru dan Kyai saya. Karena selama di
pesantren, saya sudah melanggar banyak peraturan. Seperti baru-baru ini, saya
baru kembali ke pondok seminggu setelah waktu yang ditetapkan. Terkadang, saya
juga lari dari tanggung jawab. Misalnya ketika waktunya ngaji, saya justru
kabur dan mengikuti kegiatan ekstra di kampus.
Kenapa saya
begitu takut tidak mendapat ridho dari Guru dan Kyai saya?. Karena saya adalah
santri Pondok Pesantren Salaf. Dan disemua pesantren salaf itu, dikenal ada
yang namanya barokah. Sesuatu yang bagi sebagian orang sudah tidak relevan
dizaman sekarang. Tapi, sampai saat ini, dan mungkin selamanya, saya tetap
percaya tentang adanya barokah. Bahwa murid yang membangkang, atau yang tidak
mendapat ridho Guru maupun Kyai tidak akan mendapat barokah.
Barokah, dalam
pemahaman saya, adalah seberapa besar kita dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang
sudah kita dapat selama di pesantren. Syukur-syukur kalau ilmu yang kita
dapatkan manfaatnya bisa meluber kepada orang disekeliling kita.
Konon orang
yang tidak mendapat restu atau ridho dari Guru atau Kyai, Ia tidak akan bisa,
atau kesulitan untuk mengaplikasikan ilmunya. Dalam artian orang tersebut
mungkin masih menguasai teori-teori dari ilmu yang Ia dapatkan selama di
Pesantren. Tapi Ia akan terlena, dan tidak sempat untuk mengaplikasikan ilmu
tersebut. Misalnya, ketika di pesantren diajari untuk selalu istiqomah dalam
beribadah, seperti sholat diawal waktu dan sholat berjamaah, ketika dirumah
kebiasaan tersebut tidak diteruskan. Itu sedikit contoh dari santri yang
ilmunya tidak mendapat barokah. Setidaknya menurut pendapat dan pemahaman saya.
Untuk
menghibur diri, biasanya saya hanya membatin “Biarlah, Allah Maha Tahu
betapa pedulinya saya terhadap pesantren ini, dan Allah Maha Tahu betapa saya
sangat menghormati guru-guru dan Kyai saya itu.” Dan perasaan galau maupun
takut saya pun berlalu. Meskipun terkadang masih membayang.
***
Tak terasa,
liburan kampus pun selesai. Saatnya mahasiswa masuk dan mengikuti kegiatan
kuliah semester genap. Tarmasuk saya. Yang memasuki semester 4 ini.
Hari pertama
kuliah, ada beberapa hal yang saya lihat berbeda. Pertama bangunan kampus, yang
tahap pemabangunannya sudah hampir selesai. Dan juga sudah tampak megah jika
dilihat dari luar. Kedua kursi-kursi yang biasa kami gunakan untuk kuliah. Sebagian
besar modelnya diganti. Penggantian model kursi ini selain lebih tampak elegan,
tentu saja lebih nyaman untuk diduduki.
Namun ada satu
hal yang tidak diganti. Dan ini yang mengusik saya sejak pertama menginjak
dunia kampus disemester satu dulu. Tempat meletakkan tas atau buku. Dari dulu
sampai sekarang tempat masih tetap. Di kolong kursi.
![]() |
Kursi & tempat meletakkan buku di kampus saya |
Tempat meletakkan
buku yang dibawah kursi tersebut, mungkin tampak biasa saja bagi teman-teman. Tapi
tidak bagi saya yang santri ini. Saya sebagai santri tentu tidak dapat menerima
tempat buku yang diletakkan dibawah kursi tersebut. Karena di pesantren kami
diajari untuk menghormati ilmu. Termasuk sumber ilmu, yang dalam hal ini berupa
buku.
Oleh karena
itu, selama kuliah saya selalu meletakkan tas maupun buku saya diatas meja. Kalaupun
terpaksa harus menyingkirkan tas (yang berisi buku), saya akan meletakkannya
disamping tempat duduk saya. Bukan dibawahnya.
***
![]() |
Kitab Ta'limul Muta'alim, Sumber: tokobukumenarakudus.com |
Malam harinya,
kebetulan pelajaran di Madrasah Diniyah saya adalah Ta’limul Muta’alim. Pelajaran
yang membahas tentang bagaimana seharusnya tatakrama seorang santri atau pelajar.
Sambil menunggu Guru, saya membuka-buka buku pelajaran saya. Langsung menuju
bab Ta’dzimul ‘Ilmi Wa Ahlihi (bab yang menjelaskan tentang menghormati
ilmu dan ahli ilmu). Saya membuka bab tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu saya
lakukan karena melihat fenomena kursi di kampus saya.
Saya tak akan
membahas panjang lebar tentang isi kitab Ta’limul Muta’alim yang saya baca
malam itu. Jika pembaca merasa penasaran, silahkan baca sendiri, kalau belum
mampu membaca teks arabnya langsung, terjemahannya juga ada kok hehehe….
Yang akan saya
utarakan adalah hal yang justru mengobati rasa kegalauan seperti yang sudah
saya ceritakan di atas. Rasa takut tidak mendapat ridho Guru atau Kyai saya. Syaikh
Az Zarnuji, pengarang Kitab Ta’limul Muta’alim mengatakan …al hurmatu
khoirum minat to’ah… yang artinya: “Menghormati lebih baik daripada menaati.”
Ungkapan Syaikh
Az Zarnuji di atas memang benar. Bahwa menghormati lebih baik daripada menaati.
Karena seorang yang taat ada kalanya melakukan perintah dengan terpaksa. Melakukan
dengan terpaksa masih mending, yang lebih parah jika keterpaksaan itu diungkapkan
dengan gerutuan. Kan lebih baik menghormati. Meskipun jauh, masih tetap selalu
berkirim doa.
Setelah
membaca teks tersebut, saya mendapat suatu pencerahan baru. Bahawa masih ada
kesempatan bagi saya untuk mendapat Barokah dari Guru-guru dan Kyai saya. Meskipun
sering membangkang dan lari dari tanggung jawab. Karena dalam hati saya
tersimpan rasa hormat yang begitu besar kepada para Beliau-beliau semua. (*)
Cukup kang Didin, cukup bagus dan memang seharusnya kita memuliakan ilmu dan memuliakan gurunya juga, imam Az-zarnuji kan bukan orang sembarangan yang mana pemikiran beliau itu menanamkan konsep keberkahan di dalam karya monumentalnya " Ta'lim Al-Muta'alim " tanpa ta'zim dan rasa mulia pada ilmu dan ahl9i ilmu tiada keberkahan bagi kita, walaupun ntah seperti apa dan dimana dimensi keberkahan itu saya kurang tahu karena perkara sir yang hanya ALlah yang maha lebih tahu.
BalasHapusmanteb kang, , ,
HapusYang penting posting, yang penting nulis.
BalasHapus