Selasa, 04 Februari 2014

Santri Galau, Kursi Kampus, dan Pencerahan Ta’limul Muta’alim


didinmahardi.blogspot.com – Cerita ini saya awali dari kegalauan saya. Tepatnya mungkin bukan galau. Tapi takut. Takut jika tidak mendapat ridho Guru dan Kyai saya. Karena selama di pesantren, saya sudah melanggar banyak peraturan. Seperti baru-baru ini, saya baru kembali ke pondok seminggu setelah waktu yang ditetapkan. Terkadang, saya juga lari dari tanggung jawab. Misalnya ketika waktunya ngaji, saya justru kabur dan mengikuti kegiatan ekstra di kampus. 

Kenapa saya begitu takut tidak mendapat ridho dari Guru dan Kyai saya?. Karena saya adalah santri Pondok Pesantren Salaf. Dan disemua pesantren salaf itu, dikenal ada yang namanya barokah. Sesuatu yang bagi sebagian orang sudah tidak relevan dizaman sekarang. Tapi, sampai saat ini, dan mungkin selamanya, saya tetap percaya tentang adanya barokah. Bahwa murid yang membangkang, atau yang tidak mendapat ridho Guru maupun Kyai tidak akan mendapat barokah.

Barokah, dalam pemahaman saya, adalah seberapa besar kita dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat selama di pesantren. Syukur-syukur kalau ilmu yang kita dapatkan manfaatnya bisa meluber kepada orang disekeliling kita.

Konon orang yang tidak mendapat restu atau ridho dari Guru atau Kyai, Ia tidak akan bisa, atau kesulitan untuk mengaplikasikan ilmunya. Dalam artian orang tersebut mungkin masih menguasai teori-teori dari ilmu yang Ia dapatkan selama di Pesantren. Tapi Ia akan terlena, dan tidak sempat untuk mengaplikasikan ilmu tersebut. Misalnya, ketika di pesantren diajari untuk selalu istiqomah dalam beribadah, seperti sholat diawal waktu dan sholat berjamaah, ketika dirumah kebiasaan tersebut tidak diteruskan. Itu sedikit contoh dari santri yang ilmunya tidak mendapat barokah. Setidaknya menurut pendapat dan pemahaman saya.

Untuk menghibur diri, biasanya saya hanya membatin “Biarlah, Allah Maha Tahu betapa pedulinya saya terhadap pesantren ini, dan Allah Maha Tahu betapa saya sangat menghormati guru-guru dan Kyai saya itu.” Dan perasaan galau maupun takut saya pun berlalu. Meskipun terkadang masih membayang.
***

Tak terasa, liburan kampus pun selesai. Saatnya mahasiswa masuk dan mengikuti kegiatan kuliah semester genap. Tarmasuk saya. Yang memasuki semester 4 ini.

Hari pertama kuliah, ada beberapa hal yang saya lihat berbeda. Pertama bangunan kampus, yang tahap pemabangunannya sudah hampir selesai. Dan juga sudah tampak megah jika dilihat dari luar. Kedua kursi-kursi yang biasa kami gunakan untuk kuliah. Sebagian besar modelnya diganti. Penggantian model kursi ini selain lebih tampak elegan, tentu saja lebih nyaman untuk diduduki.

Namun ada satu hal yang tidak diganti. Dan ini yang mengusik saya sejak pertama menginjak dunia kampus disemester satu dulu. Tempat meletakkan tas atau buku. Dari dulu sampai sekarang tempat masih tetap. Di kolong kursi.
Kursi & tempat meletakkan buku di kampus saya


Tempat meletakkan buku yang dibawah kursi tersebut, mungkin tampak biasa saja bagi teman-teman. Tapi tidak bagi saya yang santri ini. Saya sebagai santri tentu tidak dapat menerima tempat buku yang diletakkan dibawah kursi tersebut. Karena di pesantren kami diajari untuk menghormati ilmu. Termasuk sumber ilmu, yang dalam hal ini berupa buku.

Oleh karena itu, selama kuliah saya selalu meletakkan tas maupun buku saya diatas meja. Kalaupun terpaksa harus menyingkirkan tas (yang berisi buku), saya akan meletakkannya disamping tempat duduk saya. Bukan dibawahnya.
***

Kitab Ta'limul Muta'alim, Sumber: tokobukumenarakudus.com
Malam harinya, kebetulan pelajaran di Madrasah Diniyah saya adalah Ta’limul Muta’alim. Pelajaran yang membahas tentang bagaimana seharusnya tatakrama seorang santri atau pelajar. Sambil menunggu Guru, saya membuka-buka buku pelajaran saya. Langsung menuju bab Ta’dzimul ‘Ilmi Wa Ahlihi (bab yang menjelaskan tentang menghormati ilmu dan ahli ilmu). Saya membuka bab tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu saya lakukan karena melihat fenomena kursi di kampus saya.

Saya tak akan membahas panjang lebar tentang isi kitab Ta’limul Muta’alim yang saya baca malam itu. Jika pembaca merasa penasaran, silahkan baca sendiri, kalau belum mampu membaca teks arabnya langsung, terjemahannya juga ada kok hehehe….

Yang akan saya utarakan adalah hal yang justru mengobati rasa kegalauan seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Rasa takut tidak mendapat ridho Guru atau Kyai saya. Syaikh Az Zarnuji, pengarang Kitab Ta’limul Muta’alim mengatakan …al hurmatu khoirum minat to’ah… yang artinya: “Menghormati lebih baik daripada menaati.”

Ungkapan Syaikh Az Zarnuji di atas memang benar. Bahwa menghormati lebih baik daripada menaati. Karena seorang yang taat ada kalanya melakukan perintah dengan terpaksa. Melakukan dengan terpaksa masih mending, yang lebih parah jika keterpaksaan itu diungkapkan dengan gerutuan. Kan lebih baik menghormati. Meskipun jauh, masih tetap selalu berkirim doa.

Setelah membaca teks tersebut, saya mendapat suatu pencerahan baru. Bahawa masih ada kesempatan bagi saya untuk mendapat Barokah dari Guru-guru dan Kyai saya. Meskipun sering membangkang dan lari dari tanggung jawab. Karena dalam hati saya tersimpan rasa hormat yang begitu besar kepada para Beliau-beliau semua. (*)   

3 komentar:

  1. Cukup kang Didin, cukup bagus dan memang seharusnya kita memuliakan ilmu dan memuliakan gurunya juga, imam Az-zarnuji kan bukan orang sembarangan yang mana pemikiran beliau itu menanamkan konsep keberkahan di dalam karya monumentalnya " Ta'lim Al-Muta'alim " tanpa ta'zim dan rasa mulia pada ilmu dan ahl9i ilmu tiada keberkahan bagi kita, walaupun ntah seperti apa dan dimana dimensi keberkahan itu saya kurang tahu karena perkara sir yang hanya ALlah yang maha lebih tahu.

    BalasHapus
  2. Yang penting posting, yang penting nulis.

    BalasHapus