Judul di atas sengaja saya beri
tanda petik. Karena judul tersebut memang benar-benar saya petik dari judul
buku yang ditulis oleh G. J. Resink. Buku setebal 366 halaman ini segera
menarik perhatian saya ketika sedang berjalan di pasar buku Shopping
Yogyakarta. Meski harganya lumayan mahal untuk ukuran saya, tapi tak masalah.
Sebanding dengan wawasan baru yang akan saya dapatkan. Menariknya, meski
halaman buku ini tergolong tebal, tapi pembaca sudah akan mendapatkan gambaran
umum dari buku ini ketika membaca pengantar yang ditulis oleh A. B. Lapian.
Setelah membaca buku ini, saya
segera mendapat wawasan baru tentang Indonesia. Bahwa kita tidak pernah
dijajah. Siapa bilang Indonesia dijajah selama 350 tahun? Bohong. Mitos belaka.
G. J. Resink seorang sejarawan, ahli hukum internasional, yang sekaligus
penyair memaparkan bahwa cerita tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun
itu hanyalah konstruksi politik kolonial belaka. Kebohongan 350 tahun dijajah
dipopulerkan oleh politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial.
Belakangan cerita tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun semakin diperkuat dan diyakini sebagai kebenaran sejarah ketika Bung Karno dan pejabat politisi sering menggunakannya dalam pidato-pidato. Tak terkecuali para sejarawan. Ironisnya, pemerintah justru memasukkan cerita tentang penjajahan ini dalam kurikulum pelajaran sekolah-sekolah. Sampai akhirnya cerita ini diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut dalam masyarakat.
Belakangan cerita tentang Indonesia yang dijajah selama 350 tahun semakin diperkuat dan diyakini sebagai kebenaran sejarah ketika Bung Karno dan pejabat politisi sering menggunakannya dalam pidato-pidato. Tak terkecuali para sejarawan. Ironisnya, pemerintah justru memasukkan cerita tentang penjajahan ini dalam kurikulum pelajaran sekolah-sekolah. Sampai akhirnya cerita ini diterima dan tertanam sebagai kebenaran absolut dalam masyarakat.
Padahal jika ditelisik, masih banyak
kerajaan-kerajaan di Indonesia yang sama sekali tak terjajah oleh Belanda.
Meskipun untuk itu, mereka harus berperang tiada habisnya. Contohnya seperti
Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Hal ini dinyatakan sendiri oleh sebuah
keputusan pengadilan tertinggi Belanda pada tahun 1871 yang berbunyi seperti
ini:
“... tidak ada perjanjian atau
persetujuan yang megakhiri kemerdekaan Kerajaan Goa dan menganggap wilayah
Kerajaan Goa sebagai wilayah Hindia Belanda...”
Selain Kerajaan Goa, masih ada
Kerajaan Kutai yang statusnya tidak masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia
Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkara pidana yang dilakukan oleh
seorang pangeran dari Kerajaan Kutai pada tahun 1904 yang dilakukan di dalam swapraja
Gunung Tabur dan naik banding atas keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun perkara
tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung karena yang bersangkutan adalah warga dari
Kerajaan Kutai, jadi tidak termasuk wewenang pengadilan Hindia Belanda.
“... karena tersangka, selaku
kawula Negara Kutai, tunduk kepada kekuasaan hukum Sultan dan para pembesar
Negara Kutai dan kontrak dengan Kutai pun tidak membedakan apakah perbuatan
pidana dilakukan di dalam atau di luar Kerajaan Kutai, sedangkan dengan
sendirinya para kawula swapraja, menurut azas umum yang juga berlaku pada orang
Pribumi, tetap tunduk kepada pembesar pengadilan negeri mereka dan juga
demikian mengenai kejahatan berat yang dilakukan di tempat lain...”
Selain dua kerajaan di atas,
masih ada beberapa kerajaan lagi yang kedudukannya merdeka. Sama sekali tidak
tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya adalah Kerajaan Aceh. Sampai
paruh kedua abad 19, Kerajaan Aceh masih eksis. Namun mereka tidak dapat
melakukan hubungan dengan wilayah di luar mereka karena dihalangi oleh blokade
yang dilakukan Belanda.
“... bahwa, karena sebuah
blokade hanya terbatas dalam soal penutupan wilayah musuh, sedangkan Sungai
Tamian adalah batas antara Kerajaan Aceh dang Langkat, jadi bila memberikan
jalan untuk memasuki kedua kerajaan itu, tidak dapat dikatakan termasuk dalam wilayah
yang terkena blokade....”
Data-data di atas baru
menunjukkan kerajaan-kerajaan yang merdeka diwilayah Indonesia Tengah dan Barat.
Bila diperinci, masih banyak wilayah-wilayah Indonesia Timur yang juga sama
sekali tidak takluk terhadap Belanda. Dan hal itu diakui sendiri oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai salah satu karya penting
dalam bidang sejarah, tentu saja buku ini tidak lepas dari kritik. Salah satu
kritik tersebut berhubungan dengan solidaritas bangsa. Bahwa bila suatu daerah
telah merasakan penjajahan, maka hendaknya dianggap sebagai penderitaan seluruh
bangsa Indonesia. Namun, tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan solidaritas
itu dapat dibalik. Bahwa selama ada satu daerah yang masih merdeka dan belum
masuk wilayah Hindia Belanda, hendaknya kita lihat pula sebagai kemerdekaan bersama.
Dalam rasa solidaritas dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
(DPM)
Seri Antologi:
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
Seri Antologi:
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar