Rabu, 30 Juli 2014

Mengajar Pelajar



didinmahardi.blogspot.com – Ketika menuliskan judul di atas, saya tidak berniat bersungguh-sungguh untuk mengajar. Ini hanya semacam anjuran. Agar para pelajar lebih tau bagaimana memperlakukan dan menempatkan ilmu-ilmunya. Dan nantinya dapat meraup manisnya ilmu.

Judul di atas sebenarnya adalah terjemahan bebas dari “Ta’limul Muta’alim.” Benar-benar bebas, karena sayalah yang menerjemahkannya (cuma menerjemahkan kata ta’limul muta’alim saja dan tidak beserta isinya) dengan kemampuan bahasa Arab yang sangat pas-pasan. Seorang Ahli menerjemahkan Ta’limul Muta’alim menjadi “Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu” seorang lainnya menerjemahkannya menjadi “Memberikan Tuntunan Kepada Penuntut Ilmu.” Judul-judul yang terlalu panjang bukan? Akan lebih singkat jika saya tuliskan menjadi “Mengajar Pelajar.” Lebih padat. Dan yang terpenting tidak melenceng dari yang dikehendaki susunan kata Ta’limul Muta’alim.

Bagi orang-orang Pesantren, judul Ta’limul Muta’alim mungkin sudah sangat familier. Di luar itu, hanya segelintir orang yang mengenalnya. Padahal isi Ta’limul Muta’alim sangat krusial. Terutama bagi para penuntut ilmu. Baik Ia pelajar, santri, mahasiswa, dan semua orang. Karena, seperti kata Nabi, masa menuntut ilmu dimulai sejak masih dalam buaian Bunda sampai ketika seseorang sudah dimasukkan ke liang lahat.

Ta’limul Muta’alim adalah judul sebuah kitab atau buku yang membahas tata krama. Khususnya tata krama orang-orang yang menunut ilmu. Disusun oleh Syaikh Az Zarnujiy (Wafat 591 H/1195 M). Seorang Ulama bermadzhab Hanafi yang hidup pada masa Bani Abbasiyah.

Fakta bahwa Ta’limul Muta’lim masih dikenal luas dan dipelajari hingga sekarang, menunjukkan betapa urgen-nya isi kitab ini. Meskipun belakangan muncul orang-orang yang mengkritik dan mempertanyakan relefansi Ta’limul Muta’alim dengan pendidikan masa kini. Hal seperti itu wajar saja. Mengingat Ta’limul Muta’alim adalah karya ilmiah. Namun selama isi kandungan Ta’limul Muta’alim tidak bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, apa salahnya untuk dikaji, direnungkan, dan kemudian diamalkan.

Dalam sambutan yang ditulis Moh. Tolchah Mansoer terhadap terjemah Ta’limul Muta’alim karya Drs. H. Aliy As’ad, beliau mengungkapkan hal menarik dalam kitab Ta’limul Muta’alim. Dalam salah satu bagiannya, pengarang Ta’limul Muta’alim mengutip ucapan Imam Abu Hanifah tentang memulyakan ilmu dan ahli ilmu. “Buatlah besar serban-serbanmu, dan lebarkanlah lengan bajumu.” Ucapan Imam Abu Hanifah yang demikian itu dimaksudkan agar ilmu dan ahli ilmu tidak dianggap remeh.

Ternyata ucapan Imam Abu Hanifah yang sudah berabad-abad lalu itu, kini dipraktekkan oleh dunia universitas. Terbukti dalam beberapa upacara ilmiah, para dosen maupun guru besar sering tampil dengan memakai toga. Baju panjang (jubah) hitam yang berlengan lebar. Begitu juga mahasiswa yang sudah tamat masa belajarnya. Maksudnya, tentu saja agar lebih kentara wibawa ilmiyahnya. Meskipun, tak jarang juga yang sorbannya besar atau memakai toga segala macam, toh ilmunya biasa saja. (DPM)

Ponorogo, 30 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar