Kamis, 26 Maret 2015

Belajar Dari Pesantren Sampai ke Amerika

George Carlin


Pekan ini, dibanyak daerah di Indonesia, sedang senter isu penurunan Presiden. Hampir sama dengan kejadian tahun 1998 silam, gerakan inipun dimotori oleh Mahasiswa. kepemimpinan Presiden Jokowi-JK dinilai gagal dalam menyelesaikan berbagai permasalahan Negeri. Mulai dari ekonomi, politik, dan pemeberantasan korupsi. Kegagalan kepemimpinan Jokowi-JK dalam bidang ekonomi terlihat pada kemerosotan kurs Rupiah yang terus menerus. Sedangkan dalam bidang politik dan pemeberantasan korupsi, terlihat pada berlarut-larutnya konflik KPK dan Polri.

Sebagai Mahasiswa, seharusnya saya aktif mendukung gerakan rekan-rekan Mahasiswa itu. Sebagai representasi rasa solidaritas sesama Mahasiswa. Namun jangan dilupakan bahwa saya juga Santri. Sebagai Santri yang Mahasiswa sudah seharusnya saya menyampaikan atau berbagi wawasan ke-santri-an saya kepada khalayak, terutama kepada rekan-rekan Mahasiswa sebagai bentuk tanggung jawa intelektual. Baik intelektualisme sebagai Santri maupun sebagai Mahasiswa. Karena meskipun bergerak pada ranah yang berbeda, namun Santri dan Mahasiswa sebenarnyalah menggeluti dunia yang sama. Dunia keilmuan yang meskipun sulit diamalkan tetapi harus tersampaikan dan diwariskan.

Dalam khazanah keilmuan Pesantren, ada dikenal sebuah kitab kecil yang sebenarnyalah merupakan ringkasan dari kitan Al Asybah Wan Nadzair. Judul kitab tersebut adalah Faraidul Bahiyah. Cakupan bahasannya adalah qaidah-qaidah fiqih. Meskipun sebenarnya bahasan-bahasan qaidah fiqih ini sudah diajarkan dibeberapa kampus yang bernuansa Islam, seperti STAIN, IAIN, dan UIN, namun saya tetap merasa berkepentingan untuk menyampaikannya lagi. Toh tampaknya banyak juga rekan-rekan mahasiswa yang belum tahu.

Nah salah satu kaidah fiqih yang disebutkan dalam kitab Faraidul Bahiyah adalah “ad dhororu yuzalu.” Artinya bahwa setiap hal yang berdampak pada kemudharatan atau bahaya, harus dihilangkan. Lantas adakah hubungan qaidah ini dengan aksi Mahasiswa yang (tampakanya) ingin melengserkan Presiden itu? Tentu saja ada.

Dalam penjabaran dari qaidah fiqih di atas, bahwa kemudharatan tidak dapat dihilangi dengan kemudharatan yang lain. Tapi dikecualikan apabila dampak kemudharatan yang ditimbulkan tidak sama. Dalam artian salah satu dari kemudharatan tersebut dampaknya lebih ringan. Maka kemudharatan yang awal boleh dihilangi dengan kemudharatan yang dampaknya lebih ringan ini.

Dalam bab “ad dhororu yuzalu” juga disebutkan contoh, apabila ada orang bodoh yang kencing di masjid, maka lebih baik dibiarkan saja sampai kencingnya tuntas. Daripada ditegur dan mengakibatkan kencingnya yang belum tuntas itu berkleleran di masjid, kan malah repot? Demikian halnya dengan pemimpin. Dalam konteks ini adalah Presiden. Apabila setelah diangkat menjadi Presiden baru diketahui bahwa ternyata Presiden tersebut tidak baik, maka lebih baik dibiarkan saja. Cukup ditegur tanpa harus melengserkan. Biarkan Presiden itu menyelesaikan masa ke-Presiden-annya. Pertimbangannya, apabila dilakukan pemilihan ulang, belum tentu akan didapatka Presiden baru yang lebih baik. Belum lagi dana yang harus dikeluarkan untuk melakukan pemilihan baru tersebut.

Selain dari Pesantren, ternyata juga ada suara-suara lain yang pas jika dikaitkan dengan konteks ini. Jika suara Pesantren adalah suara lokal, maka suara yang kedua ini justru datang dari tempat yang jauh. Dari Amerika sana. Disuarakan oleh George Carlin. Seorang tokoh komedi ternama Amerika yang meninggal pada 2008 silam.

Adalah takdir jika pagi ini saya membaca Harian Jawa Pos. Dan merupakan kehendakNya pula jika saya lantas menemukan tulisan Azrul Ananda yang membahas George Carlin tersebut. Setelah membaca tulisan Azrul itu, lantas timbul keinginan saya untuk berbagi wawasan. Yang kebetulan pas jika di share pada minggu-minggu ini. Tentu saja wawasan yang saya bagi tetap merupakan kombinasi yang saya rasa pas dan momennya tepat. Kombinasinya adalah ungkapan George Carlin seperti yang diulas Azrul Ananda dalm Harian Jawa Pos hari ini dan wawasan qaidah fiqih seperti yang sudah saya uraikan di atas.

Menarik jika diperhatikan. Ucapan George Carlin yang pernah dilontarkan pada 1996 silam, ternyata masih cocok jika digunakan untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Tentu saja dengan sedikit modifikasi. Seperti kata “Amerika” yang harus diganti menjadi “Indonesia.”
Terlepas dari ini merupakan tindakan plagiat atau bukan (semoga saja bukan), berikut saya cuplikkan kata-kata George Carlin dari cuplikkan yang ditulis Azrul Ananda dalam harian Jawa Pos.

’’Saya banyak komplain, tapi saya tidak komplain tentang satu hal: Politikus. Padahal, semua komplain soal politikus. Semua bilang politikus itu busuk.

Lho, lalu orang kira para politikus itu datang dari mana? Mereka tidak jatuh dari langit. Mereka tidak datang dari dimensi lain. Mereka datang dari orang tua Indonesia dan keluarga Indonesia. Mereka besar di rumah Indonesia, sekolah Indonesia, tempat ibadah Indonesia, dan mereka dipilih oleh warga negara Indonesia.

Mereka (politikus) adalah yang terbaik yang bisa kita hasilkan. Merekalah yang dihasilkan oleh sistem yang kita miliki. Garbage in,garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar).

Kalau masyarakatnya mementingkan diri sendiri, maka pemimpinnya pun akan mementingkan diri sendiri.
Jadi mungkin, bukan politikus yang busuk. Mungkin ada yang lain yang busuk, seperti masyarakat…’’

Lebih lanjut, Carlin bilang, kalau kita ikut memilih, kita pun tidak boleh komplain.

’’Kalau Anda memilih, dan Anda memilih politikus yang tidak mampu dan tidak jujur, lalu mereka mendapatkan jabatan dan merusak segalanya, maka Anda-lah yang bertanggung jawab atas segala hal yang mereka lakukan. Anda yang memilih mereka, Anda-lah penyebab segala masalahnya. Jadi, Anda tidak punya hak untuk komplain…’’

Nah, hal yang dapat kita petik dari dua wawasan di atas, baik yang dari Pesantren maupun yang dari Amerika, adalah bahwa kita harus lebih banyak menunduk melihat diri sendiri. Sudahkan kita memilih benar-benar dengan hati nurani? Ataukah sekedar latah belaka. Kan budaya latah bangsa kita sudah mendarah daging ratusan tahun lamanya.

Yogyakarta, 25 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar