George Carlin |
Pekan ini, dibanyak daerah di
Indonesia, sedang senter isu penurunan Presiden. Hampir sama dengan kejadian
tahun 1998 silam, gerakan inipun dimotori oleh Mahasiswa. kepemimpinan Presiden
Jokowi-JK dinilai gagal dalam menyelesaikan berbagai permasalahan Negeri. Mulai
dari ekonomi, politik, dan pemeberantasan korupsi. Kegagalan kepemimpinan
Jokowi-JK dalam bidang ekonomi terlihat pada kemerosotan kurs Rupiah yang terus
menerus. Sedangkan dalam bidang politik dan pemeberantasan korupsi, terlihat
pada berlarut-larutnya konflik KPK dan Polri.
Sebagai Mahasiswa, seharusnya
saya aktif mendukung gerakan rekan-rekan Mahasiswa itu. Sebagai representasi
rasa solidaritas sesama Mahasiswa. Namun jangan dilupakan bahwa saya juga
Santri. Sebagai Santri yang Mahasiswa sudah seharusnya saya menyampaikan atau
berbagi wawasan ke-santri-an saya kepada khalayak, terutama kepada rekan-rekan
Mahasiswa sebagai bentuk tanggung jawa intelektual. Baik intelektualisme
sebagai Santri maupun sebagai Mahasiswa. Karena meskipun bergerak pada ranah
yang berbeda, namun Santri dan Mahasiswa sebenarnyalah menggeluti dunia yang
sama. Dunia keilmuan yang meskipun sulit diamalkan tetapi harus tersampaikan
dan diwariskan.
Dalam khazanah keilmuan
Pesantren, ada dikenal sebuah kitab kecil yang sebenarnyalah merupakan
ringkasan dari kitan Al Asybah Wan Nadzair. Judul kitab tersebut adalah Faraidul
Bahiyah. Cakupan bahasannya adalah qaidah-qaidah fiqih. Meskipun sebenarnya
bahasan-bahasan qaidah fiqih ini sudah diajarkan dibeberapa kampus yang
bernuansa Islam, seperti STAIN, IAIN, dan UIN, namun saya tetap merasa berkepentingan
untuk menyampaikannya lagi. Toh tampaknya banyak juga rekan-rekan mahasiswa
yang belum tahu.
Nah salah satu kaidah fiqih yang
disebutkan dalam kitab Faraidul Bahiyah adalah “ad dhororu yuzalu.”
Artinya bahwa setiap hal yang berdampak pada kemudharatan atau bahaya, harus
dihilangkan. Lantas adakah hubungan qaidah ini dengan aksi Mahasiswa yang (tampakanya)
ingin melengserkan Presiden itu? Tentu saja ada.
Dalam penjabaran dari qaidah
fiqih di atas, bahwa kemudharatan tidak dapat dihilangi dengan kemudharatan
yang lain. Tapi dikecualikan apabila dampak kemudharatan yang ditimbulkan tidak
sama. Dalam artian salah satu dari kemudharatan tersebut dampaknya lebih
ringan. Maka kemudharatan yang awal boleh dihilangi dengan kemudharatan yang
dampaknya lebih ringan ini.
Dalam bab “ad dhororu yuzalu”
juga disebutkan contoh, apabila ada orang bodoh yang kencing di masjid, maka
lebih baik dibiarkan saja sampai kencingnya tuntas. Daripada ditegur dan
mengakibatkan kencingnya yang belum tuntas itu berkleleran di masjid, kan malah
repot? Demikian halnya dengan pemimpin. Dalam konteks ini adalah Presiden. Apabila
setelah diangkat menjadi Presiden baru diketahui bahwa ternyata Presiden
tersebut tidak baik, maka lebih baik dibiarkan saja. Cukup ditegur tanpa harus
melengserkan. Biarkan Presiden itu menyelesaikan masa ke-Presiden-annya. Pertimbangannya,
apabila dilakukan pemilihan ulang, belum tentu akan didapatka Presiden baru
yang lebih baik. Belum lagi dana yang harus dikeluarkan untuk melakukan
pemilihan baru tersebut.
Selain dari Pesantren, ternyata
juga ada suara-suara lain yang pas jika dikaitkan dengan konteks ini. Jika
suara Pesantren adalah suara lokal, maka suara yang kedua ini justru datang
dari tempat yang jauh. Dari Amerika sana. Disuarakan oleh George Carlin. Seorang
tokoh komedi ternama Amerika yang meninggal pada 2008 silam.
Adalah takdir jika pagi ini saya
membaca Harian Jawa Pos. Dan merupakan kehendakNya pula jika saya lantas
menemukan tulisan Azrul Ananda yang membahas George Carlin tersebut. Setelah membaca
tulisan Azrul itu, lantas timbul keinginan saya untuk berbagi wawasan. Yang kebetulan
pas jika di share pada minggu-minggu ini. Tentu saja wawasan yang saya
bagi tetap merupakan kombinasi yang saya rasa pas dan momennya tepat. Kombinasinya
adalah ungkapan George Carlin seperti yang diulas Azrul Ananda dalm Harian
Jawa Pos hari ini dan wawasan qaidah fiqih seperti yang sudah saya uraikan di
atas.
Menarik jika diperhatikan. Ucapan
George Carlin yang pernah dilontarkan pada 1996 silam, ternyata masih cocok
jika digunakan untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Tentu saja
dengan sedikit modifikasi. Seperti kata “Amerika” yang harus diganti menjadi “Indonesia.”
Terlepas dari ini merupakan
tindakan plagiat atau bukan (semoga saja bukan), berikut saya cuplikkan
kata-kata George Carlin dari cuplikkan yang ditulis Azrul Ananda dalam harian
Jawa Pos.
’’Saya banyak komplain, tapi saya tidak
komplain tentang satu hal: Politikus. Padahal, semua komplain soal politikus.
Semua bilang politikus itu busuk.
Lho, lalu orang kira para politikus itu datang dari mana? Mereka tidak
jatuh dari langit. Mereka tidak datang dari dimensi lain. Mereka datang dari
orang tua Indonesia dan keluarga Indonesia. Mereka besar di rumah Indonesia,
sekolah Indonesia, tempat ibadah Indonesia, dan mereka dipilih oleh warga
negara Indonesia.
Mereka (politikus) adalah yang terbaik yang bisa kita hasilkan.
Merekalah yang dihasilkan oleh sistem yang kita miliki. Garbage in,garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar).
Kalau masyarakatnya mementingkan diri sendiri, maka pemimpinnya
pun akan mementingkan diri sendiri.
Jadi mungkin, bukan politikus yang busuk. Mungkin ada yang lain
yang busuk, seperti masyarakat…’’
Lebih
lanjut, Carlin bilang, kalau kita ikut memilih, kita pun tidak boleh komplain.
’’Kalau Anda memilih, dan Anda memilih
politikus yang tidak mampu dan tidak jujur, lalu mereka mendapatkan jabatan dan
merusak segalanya, maka Anda-lah yang bertanggung jawab atas segala hal yang
mereka lakukan. Anda yang memilih mereka, Anda-lah penyebab segala masalahnya.
Jadi, Anda tidak punya hak untuk komplain…’’
Nah, hal
yang dapat kita petik dari dua wawasan di atas, baik yang dari Pesantren maupun
yang dari Amerika, adalah bahwa kita harus lebih banyak menunduk melihat diri
sendiri. Sudahkan kita memilih benar-benar dengan hati nurani? Ataukah sekedar
latah belaka. Kan budaya latah bangsa kita sudah mendarah daging ratusan tahun
lamanya.
Yogyakarta, 25 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar