Ini tentang pertanyaan yang
diajukan seorang teman mahasiswa ketika saya mempresentasikan sistem ekonomi
Pancasila. “Jika Indonesia sudah memiliki sistem ekonomi Pancasila, lantas
kenapa pemerintah Indonesia sekarang lebih condong pada ekonomi liberal?” Ucap penanya
yang namanya belum lagi saya ketahui itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnyalah
menuntut jawaban yang ilmiah.
Alih-alih menjawab secara ilmiah,
saya malah membawa mereka kembali pada abad 14 Masehi. Masa kejayaan kerajaan Majapahit
yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk dengan penyair besarnya Mpu Tantular dan
Prapanca. Ya itulah saya, mahasiswa ekonomi yang justru lebih suka membaca buku-buku
sejarah. Tak masalah. Kan sejarah juga ilmu? Pertimbangan saya, seseorang yang
melulu fokus pada satu hal, ia akan menjadi terkucilkan. Pikirannya akan
menjadi sempit dan cenderung memandang remeh hal-hal lain yang menurutnya tidak
sesuai. Kita harus belajar mengerti bahwa diluar sana ada banyak hal lain yang
sama sekali berbeda dengan wawasan-wawasan yang kita terima.
Tentang pemerintah Indonesia yang
lebih condong pada sistem ekonomi liberal padahal kita sudah memiliki sistem
ekonomi Pancasila, baiknya kita menengok sejarah terlebih dahulu. Pertama-tama
kita harus tahu dulu bahwa bangsa ini memiliki watak selalu mencari-cari
kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari betrok sosial. Kan
sekarang sistem ekonomi populer di dunia adalah sistem ekonomi liberal? Nah dengan
atau tanpa kita sadari, ke arah itulah sistem ekonomi Indonesia bergerak. Liberal!
Lantas bagaimana watak selalu
mencari-cari kesamaan itu muncul? Sebenarnyalah semua ini berawal dari titik
kejenuhan yang terjadi pada masa lalu. Jenuh pada perang berkepanjangan yang
bagai tak kunjung usai pada masa sebelum abad 14 Masehi. Orang-orang merindukan
perdamaian. Maka mereka pun meninggalkan prinsip dan lebih suka terhadap
penyesuaian daripada terjadi bentrok.
Adalah Mpu Tantular, seorang
penyair besar pada masa Prabu Hayam Wuruk telah merumuskan watak penyesuaian
ini dalam sebuah bait syair-syairnya. Jika diterjemahkan bait syair tersebut
kira-kira akan menjadi seperti ini. “Budha yang dimuliakan tiada berbeda
dengan Shiva, yang tertinggi di antara dewa-dewa. Budha yang dimuliakan adalah
alam semesta. Bagaimana mungkin menceraikannya? Wujud Jina dan wujud Shiva
adalah satu. Mereka berbeda, namun mereka satu, tak ada pertentangan.”
Seorang penyair lain dalam masa yang sama, Prapanca, yang pada waktu itu juga superintenden
kuil Budha Jawa, menulis syair Negarakertagama. Seperti halnya Mpu Tantular,
Prapanca juga menyatukan antara Shiva dan Budha. Mereka itulah yang mula-mula
meniupkan arus kompromi. Melupakan prinsip-prinsip.
Mungkin kita akan
mempermasalahakan syair-syair tersebut. Kan ranah syair-syair Mpu Tantular dan
Prapanca merupakan ranah agama? Bisakah gaung ajaran agama yang biasanya hanya
berputar pada kaum-kaum terpelajar dan kaum elit negeri itu memiliki pengaruh
yang begitu besarnya sampai kepelosok-pelosok? Bahkan penerapan pemikirannya
merambah tidak hanya pada kisaran agama. Tapi merambah luas diluar agama itu
sendiri yang awalnya sebagai sumber. Jangan salah. Dari dulu sampai sekarang
agama bagai tak terpisahkan dengan politik. Dan pada masa itu, Raja dianggap
sebagai representasi dari dewa itu sendiri. Dengan arus politik yang seperti
itu, adakah alasan ajaran agama tidak dapat diterima dan meresap dalam berbagai
lini di pelosok-pelosok negeri?
Seratus tahun kemudian, ketika
Islam datang, orang-orang mencari persamaan antara Shiva, Budhisme, dan Islam. Islam
diterima tanpa prinsip, diambil syariatnya. Dalam puluhan tahun terbiasa
meninggalkan prinsip inilah Eropa datang. Mungkin nenek moyang kita dahulu
sudah akan mencari persamaan dengan Eropa. Namun Eropa terlalu keras, bahkan
cenderung angkuh untuk mau disama-samakan dengan pribumi. Dan begitu nenek
moyang kita melihat prinsip, mereka (nenek moyang kita itu) lantas menarik
diri. Bahkan melawan.
Seandainya Portugis saat itu
datang dengan lemah lembut dan pandai menyesuaikan diri, tentu Jawa sudah akan
menjadi Katolik sejak abad 15 Masehi. Ah itulah kehendak Tuhan. Dengan atau
tanpa disadari, mereka para nenek moyang itu sudah menjadi alat-alat sejarah. Dituntun
tangan-tangan takdir penuh misteri. Dan mungkin dua ratus tahun kemudian, kita
juga akan dipandang sebagai alat-alat sejarah oleh anak cucu. Beruntunglah mereka
yang dapat hidup abadi. Sebagai buah karya atau pemikiran. Karena berkarya
adalah bekerja menuju kebadian.
Kartasura, 16 Maret 2015
Kalau ada yang #kepo terus
nanya-nanya “Mas ini literaturnya mana? Kok nggak disertakan?” Oke saya akan
menjawab bahwa referensi untuk tulisan ini didapat dari sekuel ke-4 tetralogi
pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar