Selasa, 17 Maret 2015

Dari Mpu Tantular dan Prapanca



Ini tentang pertanyaan yang diajukan seorang teman mahasiswa ketika saya mempresentasikan sistem ekonomi Pancasila. “Jika Indonesia sudah memiliki sistem ekonomi Pancasila, lantas kenapa pemerintah Indonesia sekarang lebih condong pada ekonomi liberal?” Ucap penanya yang namanya belum lagi saya ketahui itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnyalah menuntut jawaban yang ilmiah.

Alih-alih menjawab secara ilmiah, saya malah membawa mereka kembali pada abad 14 Masehi. Masa kejayaan kerajaan Majapahit yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk dengan penyair besarnya Mpu Tantular dan Prapanca. Ya itulah saya, mahasiswa ekonomi yang justru lebih suka membaca buku-buku sejarah. Tak masalah. Kan sejarah juga ilmu? Pertimbangan saya, seseorang yang melulu fokus pada satu hal, ia akan menjadi terkucilkan. Pikirannya akan menjadi sempit dan cenderung memandang remeh hal-hal lain yang menurutnya tidak sesuai. Kita harus belajar mengerti bahwa diluar sana ada banyak hal lain yang sama sekali berbeda dengan wawasan-wawasan yang kita terima.

Tentang pemerintah Indonesia yang lebih condong pada sistem ekonomi liberal padahal kita sudah memiliki sistem ekonomi Pancasila, baiknya kita menengok sejarah terlebih dahulu. Pertama-tama kita harus tahu dulu bahwa bangsa ini memiliki watak selalu mencari-cari kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari betrok sosial. Kan sekarang sistem ekonomi populer di dunia adalah sistem ekonomi liberal? Nah dengan atau tanpa kita sadari, ke arah itulah sistem ekonomi Indonesia bergerak. Liberal!

Lantas bagaimana watak selalu mencari-cari kesamaan itu muncul? Sebenarnyalah semua ini berawal dari titik kejenuhan yang terjadi pada masa lalu. Jenuh pada perang berkepanjangan yang bagai tak kunjung usai pada masa sebelum abad 14 Masehi. Orang-orang merindukan perdamaian. Maka mereka pun meninggalkan prinsip dan lebih suka terhadap penyesuaian daripada terjadi bentrok.

Adalah Mpu Tantular, seorang penyair besar pada masa Prabu Hayam Wuruk telah merumuskan watak penyesuaian ini dalam sebuah bait syair-syairnya. Jika diterjemahkan bait syair tersebut kira-kira akan menjadi seperti ini. “Budha yang dimuliakan tiada berbeda dengan Shiva, yang tertinggi di antara dewa-dewa. Budha yang dimuliakan adalah alam semesta. Bagaimana mungkin menceraikannya? Wujud Jina dan wujud Shiva adalah satu. Mereka berbeda, namun mereka satu, tak ada pertentangan.” Seorang penyair lain dalam masa yang sama, Prapanca, yang pada waktu itu juga superintenden kuil Budha Jawa, menulis syair Negarakertagama. Seperti halnya Mpu Tantular, Prapanca juga menyatukan antara Shiva dan Budha. Mereka itulah yang mula-mula meniupkan arus kompromi. Melupakan prinsip-prinsip.

Mungkin kita akan mempermasalahakan syair-syair tersebut. Kan ranah syair-syair Mpu Tantular dan Prapanca merupakan ranah agama? Bisakah gaung ajaran agama yang biasanya hanya berputar pada kaum-kaum terpelajar dan kaum elit negeri itu memiliki pengaruh yang begitu besarnya sampai kepelosok-pelosok? Bahkan penerapan pemikirannya merambah tidak hanya pada kisaran agama. Tapi merambah luas diluar agama itu sendiri yang awalnya sebagai sumber. Jangan salah. Dari dulu sampai sekarang agama bagai tak terpisahkan dengan politik. Dan pada masa itu, Raja dianggap sebagai representasi dari dewa itu sendiri. Dengan arus politik yang seperti itu, adakah alasan ajaran agama tidak dapat diterima dan meresap dalam berbagai lini di pelosok-pelosok negeri?

Seratus tahun kemudian, ketika Islam datang, orang-orang mencari persamaan antara Shiva, Budhisme, dan Islam. Islam diterima tanpa prinsip, diambil syariatnya. Dalam puluhan tahun terbiasa meninggalkan prinsip inilah Eropa datang. Mungkin nenek moyang kita dahulu sudah akan mencari persamaan dengan Eropa. Namun Eropa terlalu keras, bahkan cenderung angkuh untuk mau disama-samakan dengan pribumi. Dan begitu nenek moyang kita melihat prinsip, mereka (nenek moyang kita itu) lantas menarik diri. Bahkan melawan.

Seandainya Portugis saat itu datang dengan lemah lembut dan pandai menyesuaikan diri, tentu Jawa sudah akan menjadi Katolik sejak abad 15 Masehi. Ah itulah kehendak Tuhan. Dengan atau tanpa disadari, mereka para nenek moyang itu sudah menjadi alat-alat sejarah. Dituntun tangan-tangan takdir penuh misteri. Dan mungkin dua ratus tahun kemudian, kita juga akan dipandang sebagai alat-alat sejarah oleh anak cucu. Beruntunglah mereka yang dapat hidup abadi. Sebagai buah karya atau pemikiran. Karena berkarya adalah bekerja menuju kebadian.


Kartasura, 16 Maret 2015
Kalau ada yang #kepo terus nanya-nanya “Mas ini literaturnya mana? Kok nggak disertakan?” Oke saya akan menjawab bahwa referensi untuk tulisan ini didapat dari sekuel ke-4 tetralogi pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar