didinmahardi.blogspot.com – Jika ada berita banjir di Jakarta, itu
biasa. Begitu juga dengan SIA (kepanjangan dari Sistem Informasi Akademik di
kampus saya). Adalah hal yang biasa jika SIA mendadak lelet dan sulit dibuka
pada masa-masa pengisian KRS. Nggak tau kenapa, mungkin karena terlalu banyak
yang mengakses dan kesemuanya memerlukan login. Tapi, biar bagaimanapun, itulah
kampus saya. Selain itu, gara-gara sulitnya input KRS melalui SIA, saya jadi
teringat dengan kawan lama saya di Pon. Pes. Darul Huda Mayak Ponorogo. Mahmud
namanya.
Cerita ini saya mulai dari kebiasaan teman-teman kampus saya yang
pengisian KRS nya diwakilkan ke beberapa teman saja. Tujuannya agar kita bisa
belajar satu kelas lagi. Sudah sejak semester satu kami satu kelas terus.
Ketika memasuki semester duapun jadwal kuliah kami masih dipaketkan dari
fakultas. Dan kami masih satu kelas lagi. Berbeda dengan teman-teman dari
fakultas lain, yang ketika memasuki semester dua KRS nya input sendiri.
Mungkin karena terlalu lama bersama-sama itu kami jadi semakin
lengket. Sulit berpisah (ehm..). Maka ketika mulai semester tiga
peng-input-an KRS dilakukan sendiri-sendiri, kami melakukan kesepakatan agar
kami bisa tetap satu kelas lagi. Caranya ya seperti yang sudah saya sebutkan
diatas. Input KRS diwakilkan kebeberapa teman saja.
Memasuki semester empat, input KRS kembali dilakukan dengan cara
diwakilkan kebeberapa teman saja. Untuk saya, input KRS diwakilkan kepada Nur
Fajri. Hari pertama input KRS, website SIA sulit sekali dibuka. Terdorong oleh
rasa simpati, saya turut mengisi KRS pada malam hari. Meski cuaca sedang hujan.
Sebenarnya saya ada laptop di rumah. Modem juga ada. Tapi, berhubung
letak geografis rumah saya didesa, maka jaringan internet sulit (banget)
didapat. Terpaksa untuk input KRS saya harus meluncur ke warnet. Malam-malam
sekitar jam 21:00 (lebih dikit) saya memaksakan diri keluar ke warnet.
Pakai mantel hujan.
Sampai diwarnet, dengan semangat 45 saya langsung buka SIA. Tapi,
meskipun membuka SIA dengan semangat, tetap saja loading lama, kadang
malah error. Huah.. boaring banget. Hampir tiga jam saya bertahan
dalam suasana seperti itu. Tak jarang saya mengumpat dalam hati. Meskipun
setelahnya agak saya sesali. Nah situasi seperti inilah yang mengingatkan saya
pada teman saya di PP. Darul Huda Mayak itu. Meskipun situasinya agak berbeda.
teman-teman di PPDH Mayak |
“Hey… tangi-tangi, banjer kae lho.” (hey,, bangun-bangun banjir itu
lho -Jawa) suara seorang santri membangunkan temannya. Seorang teman saya yang
baru bangun, langsung menengok jendela, “Joh.. banjer” ekspresinya kaget.
Praktis seasana pagi itu jadi heboh. Kegiatan jamaah sholat subuh yang
diwajibkan itupun terbenggalai. Banyak santri yang mendirikan jamaah dikamar
masing-masing. Bahkan tak jarang yang melaksanakan sholat subuh munfaridan
(sendiri).
Teman santri yang kamarnya dilantai satu lebih heboh lagi. Mereka
harus mengusung lemari-lemari mereka ke lantai dua jika tak ingin terendam
banjir. Alhamdulillah kamar saya dilantai tiga saat itu. Banjir tidak sampai
naik ke kamar saya. Hanya becek-becek saja, sebagian bawaan dari air yang
menempel dikaki-kaki teman yang baru naik dari lantai bawah, sebagian lagi
karena kejatuhan air dari lantai atas.
Hampir semua kegiatan pesantren lumpuh total saat itu. Dimulai dari
sholat shubuh berjamaah, pengajian wakton (ba’da subuh), sekolah pagi
(MTs, MA), bahkan dapur umum absen menyediakan sarapan.
Karena sekolah pagi libur, teman-teman mengisi waktu paginya dengan
berbagai macam hal. Ada yang melanjutkan tidur, ada yang keluar jalan-jalan dan
melihat situasi di luar, ada yang membantu Kluarga Ndalem (Keluarga Pak
Kyai), dan lain-lainnya.
Nah,, teman saya Mahmud mengisi kegiatan pagi itu dengan memperbaiki
pintu lemarinya yang rusak. Dengan peralatan ala kadarnya, beraksilah teman
saya itu. Menggergaji sana-sini, mengukur ini itu, layaknya professional. Hingga
suatu ketika, tiba-tiba dia berteriak lantang “DJANCOK. . .” umpatnya. Saya
tidak tau mengapa dia mengumpat seperti itu. Namun cepat-cepat dia mengikutinya
dengan Istighfar “Atghfirullahal ‘Adhim. . . .” Sontak, saya dan teman-teman
satu kamar yang lain pun tertawa.
Kisah Mahmud yang Istighfar setelah mengumpat itulah yang melintas
ketika saya mengisi SIA. Setelah berkali-kali gagal login, saya juga mengumpat,
namun setelahnya saya ikuti dengan Istighfar dan rasa penyesalan. Meskipun
umpatan-umpatan saya itu hanya saya lontarkan dalam hati. Saya tetap harus
Istighfar dan menyesal. Karena saya sadar kalau mengumpat itu salah. “Barang
siapa yang membenarkan sesuatu yang salah, maka kafirlah Ia” begitu kata Mushonnif
(pengarang) Kitab Sulam Taufiq (*).
Jadi ceritanya Anda ngisi KRS-nya waktu banjir ta?
BalasHapus