Rabu, 22 Januari 2014

Nostalgia Cerita Lama Gara-Gara SIA



didinmahardi.blogspot.com – Jika ada berita banjir di Jakarta, itu biasa. Begitu juga dengan SIA (kepanjangan dari Sistem Informasi Akademik di kampus saya). Adalah hal yang biasa jika SIA mendadak lelet dan sulit dibuka pada masa-masa pengisian KRS. Nggak tau kenapa, mungkin karena terlalu banyak yang mengakses dan kesemuanya memerlukan login. Tapi, biar bagaimanapun, itulah kampus saya. Selain itu, gara-gara sulitnya input KRS melalui SIA, saya jadi teringat dengan kawan lama saya di Pon. Pes. Darul Huda Mayak Ponorogo. Mahmud namanya.
Cerita ini saya mulai dari kebiasaan teman-teman kampus saya yang pengisian KRS nya diwakilkan ke beberapa teman saja. Tujuannya agar kita bisa belajar satu kelas lagi. Sudah sejak semester satu kami satu kelas terus. Ketika memasuki semester duapun jadwal kuliah kami masih dipaketkan dari fakultas. Dan kami masih satu kelas lagi. Berbeda dengan teman-teman dari fakultas lain, yang ketika memasuki semester dua KRS nya input sendiri.
Mungkin karena terlalu lama bersama-sama itu kami jadi semakin lengket. Sulit berpisah (ehm..). Maka ketika mulai semester tiga peng-input-an KRS dilakukan sendiri-sendiri, kami melakukan kesepakatan agar kami bisa tetap satu kelas lagi. Caranya ya seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Input KRS diwakilkan kebeberapa teman saja.
Memasuki semester empat, input KRS kembali dilakukan dengan cara diwakilkan kebeberapa teman saja. Untuk saya, input KRS diwakilkan kepada Nur Fajri. Hari pertama input KRS, website SIA sulit sekali dibuka. Terdorong oleh rasa simpati, saya turut mengisi KRS pada malam hari. Meski cuaca sedang hujan.
Sebenarnya saya ada laptop di rumah. Modem juga ada. Tapi, berhubung letak geografis rumah saya didesa, maka jaringan internet sulit (banget) didapat. Terpaksa untuk input KRS saya harus meluncur ke warnet. Malam-malam sekitar jam 21:00 (lebih dikit) saya memaksakan diri keluar ke warnet. Pakai mantel hujan.
Sampai diwarnet, dengan semangat 45 saya langsung buka SIA. Tapi, meskipun membuka SIA dengan semangat, tetap saja loading lama, kadang malah error. Huah.. boaring banget. Hampir tiga jam saya bertahan dalam suasana seperti itu. Tak jarang saya mengumpat dalam hati. Meskipun setelahnya agak saya sesali. Nah situasi seperti inilah yang mengingatkan saya pada teman saya di PP. Darul Huda Mayak itu. Meskipun situasinya agak berbeda.
teman-teman di PPDH Mayak
Ceritanya; pada suatu pagi di PP Mayak, tiba-tiba santri-santri heboh. Saya juga agak bingung waktu itu (cerita ini terjadi ketika saya masih kelas 2 MTS (kayaknya)). Ada apa kok tiba-tiba rebut. Padahal waktu-waktu subuh seperti itu biasanya yang rebut Cuma pengurus peribadatan, membangunkan santri-santri yang masih terbuai mimpi. Tapi pagi itu suasananya lain, bukan peribadatan yang rebut. Tapi para santri.
“Hey… tangi-tangi, banjer kae lho.” (hey,, bangun-bangun banjir itu lho -Jawa) suara seorang santri membangunkan temannya. Seorang teman saya yang baru bangun, langsung menengok jendela, “Joh.. banjer” ekspresinya kaget. Praktis seasana pagi itu jadi heboh. Kegiatan jamaah sholat subuh yang diwajibkan itupun terbenggalai. Banyak santri yang mendirikan jamaah dikamar masing-masing. Bahkan tak jarang yang melaksanakan sholat subuh munfaridan (sendiri).
Teman santri yang kamarnya dilantai satu lebih heboh lagi. Mereka harus mengusung lemari-lemari mereka ke lantai dua jika tak ingin terendam banjir. Alhamdulillah kamar saya dilantai tiga saat itu. Banjir tidak sampai naik ke kamar saya. Hanya becek-becek saja, sebagian bawaan dari air yang menempel dikaki-kaki teman yang baru naik dari lantai bawah, sebagian lagi karena kejatuhan air dari lantai atas.
Hampir semua kegiatan pesantren lumpuh total saat itu. Dimulai dari sholat shubuh berjamaah, pengajian wakton (ba’da subuh), sekolah pagi (MTs, MA), bahkan dapur umum absen menyediakan sarapan.
Karena sekolah pagi libur, teman-teman mengisi waktu paginya dengan berbagai macam hal. Ada yang melanjutkan tidur, ada yang keluar jalan-jalan dan melihat situasi di luar, ada yang membantu Kluarga Ndalem (Keluarga Pak Kyai), dan lain-lainnya.
Nah,, teman saya Mahmud mengisi kegiatan pagi itu dengan memperbaiki pintu lemarinya yang rusak. Dengan peralatan ala kadarnya, beraksilah teman saya itu. Menggergaji sana-sini, mengukur ini itu, layaknya professional. Hingga suatu ketika, tiba-tiba dia berteriak lantang “DJANCOK. . .” umpatnya. Saya tidak tau mengapa dia mengumpat seperti itu. Namun cepat-cepat dia mengikutinya dengan Istighfar “Atghfirullahal ‘Adhim. . . .” Sontak, saya dan teman-teman satu kamar yang lain pun tertawa.
Kisah Mahmud yang Istighfar setelah mengumpat itulah yang melintas ketika saya mengisi SIA. Setelah berkali-kali gagal login, saya juga mengumpat, namun setelahnya saya ikuti dengan Istighfar dan rasa penyesalan. Meskipun umpatan-umpatan saya itu hanya saya lontarkan dalam hati. Saya tetap harus Istighfar dan menyesal. Karena saya sadar kalau mengumpat itu salah. “Barang siapa yang membenarkan sesuatu yang salah, maka kafirlah Ia” begitu kata Mushonnif (pengarang) Kitab Sulam Taufiq (*).

1 komentar: