Kamis, 12 Maret 2015

Sabdatama



Secara mendadak, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabdatama. Sabda yang artinya ucapan dan Tama yang artinya utama, disebut-sebut sebagai perintah tertinggi Sultan. Entah apapun motifnya, saya rasa Sabdatama ini ada kaitannya dengan polemik pengangkatan Gubernur di DIY. Yang saya pahami dari arus politik di DIY adalah bahwa Sultan otomatis juga akan menjabat sebagai Gubernur. Dari konsep bahwa Sultan adalah Gubernur inilah lantas timbul konflik. Di Profinsi lain, akan sah-sah saja jika Gubernur dijabat oleh seorang perempuan. Tapi, apakah akan demikian halnya dengan Sultan? Dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam sampai dengan Ngayogyokarto Hadiningrat, belum pernah ada Sultan yang perempuan. Belakangan baru muncul polemik ini.


Disini saya salut kepada Sultan. Dengan dikeluarkannya Sabdatama polemik politik di DIY lantas menjadi reda. Reda, artinya tidak hilang sama sekali. Tapi ada satu hal yang dapat kita tangkap dari hal ini. Bahwa Sultan sebagai Raja masih memiliki wibawa yang agung dikalangan elit politik DIY. Luar biasa. Memang demikianlah seharusnya pemimpin itu. Menganalisa, menimbang, dan memutuskan. Tak masalah jika sedikit otoriter. Toh otoritas itu juga merupakan haknya. Coba kalau Sultan tidak segera turun tangan meredakan polemik seputar pengangkatan Gubernur tersebut. Akan sampai sejauh mana dampak negatif yang ditimbulkan. Akankah wibawa Keraton masih dapat dipertahankan jika Sultan-nya tidak cepat tanggap.

Selama 26 tahun Sultan Hamengkubuwono X bertahta, sudah dua kali dengan ini Sultan mengeluarkan Sabdatama. Sabdatama yang pertama dikeluarkan pada tahun 2012 silam. Motif Sultan mengeluarkan Sabdatama ketika itu juga tidak jauh-jauh dengan persoalan politik. Kini Sabdatama muncul kembali, dan topiknya pun tidak jauh-jauh dari politik. Demikianlah bunyi Sabdatama ke-dua Sri Sultan Hamengkubuwono X seperti yang banyak beredar dimedia masa, baik online maupun offline;

SABDOTOMO
Mangertiya, ingsun uga netepi pranatan, paugeran, lan janjiku marang Gusti Allah, Gusti Agung kang kuasa lan cipta uga marang leluhur kabeh. Mula ingsun paring dhawuh yaiku: (Mengertilah, aku juga mematuhi aturan, tata krama, dan janjiku kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta para leluhur. Karena itu, aku memberi perintah)
1.       Ora isa sopo wae, ngungkuli utowo ndhuwuri munggahing kraton. (Tak seorang pun bisa mendahului wawanang Keraton)
2.       Ora isa sopo wae mutusake utawa rembugan babagan Mataram, luwih-luwih kalenggahan tatanan Mataram. Kalebu gandheng cenenge karo tatanan pamerintahan. Kang bisa mutusne Raja. (Tak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan ihwal Mataram. Terlebih aturan mengenai Raja, termasuk aturan pemerintahannya. Yang bisa memutuskan hanya Raja)
3.       Marang sopo wae kang kaparingan kalenggahan, manut karo Raja sing maringi kalenggahan. (Siapapun yang sudah diberi jabatan harus mengikuti perintah Raja yang memberikan jabatan)
4.       Sing gelem lan ngrumangsani bagian saka alam lan gelem nyawiji karo alam, kuwi sing pantes diparingi lan diparengake ngleksanaake dhawuh lan isa diugemi yaiku:
·         Pangucape isa diugemi
·         Ngrumangsani sopo to sejatine
·         Ngugemi asal usule
Kang gumelar iki wis ono kang noto. Dumadi onolir gumanti ora kepareng dirusuhi
(Siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan melaksanakan perintah dan bisa dipercaya yaitu:
·         Ucapannya harus bisa dipercaya
·         Tahu siapa jati dirinya
·         Menghayati asal-usulnya
Bagian ini sudah ada yang mengatur. Bila ada pergantian, tidak boleh diganggu)
5.       Sing disebut tedak turun kraton, sopo wae lanang utowo wedok, durung mesti diparengake ngleksanaake dhawuh kalenggahan. Kang kadhawuhake wis tinitik. Dadi yen ono kang omong babagan kalenggahan Nata Nagari Mataram, sopo wae, luwih-luwih pengageng pangembating projo ora diparengake, lir e kleru utowo luput. (Siapa saja yang menjadi keturunan Keraton, laki-laki ataupun permpuan, belum tentu diperbolehkan melaksanakan wewenang Keraton. Yang diberi wewenang sudah ditunjuk. Jadi tidak ada yang diperbolehkan membaas atau membicarakan tahkta Mataram, terlebih para pejabat Keraton, khawatir terjadi kekeliruan)
6.       Anane sabdatama, kanggo ancer-ancer parembagan opo wae, uga paugeran kraton, semana uga negara, gunaake undang-undang. (Sabdatama ini dimunculkan sebagai patokan untuk membahas apa saja, termasuk aturan Keraton dan negara)
7.       Sabdatama kang kapungkur kawedarake jumbuh anane undang-undang keistimewaan, jumbuh anane perdais lan danais. (Sabdatama yang lalu terkait dengan perda istimewa dan dana istimewa)
8.       Yen butuh mbenerake undang-undang keistimewaan, sabdatama lan ngowahi undang-undange. Kuwi kabeh dhawuh kang perlu dimangerteni lan diugemi. (Jika Undang-Undang Keistimewaan butuh direvisi, dasarnya sabdatama. Itulah perintah yang harus dimengerti dan dilaksanakan) (Sumber teks Sabdatama: www.tempo.co)

Dari sekian poin Sabdatama di atas, poin dominan yang saya tangkap adalah; bahwa pengangkatan Tahta Kesultanan Ngayogyokarto adalah mutlak otoritas Sultan. Siapapun dilarang turut rembug membicarakan tahta Kesultanan. Bahkan kerabat Keraton sekalipun.

Terlepas dari pro dan kontra seputar Sabdatama, memang demikianlah tradisi turun-temurun Keraton. Otoritas tertinggi berada ditangan Sultan atau Raja. Namun harus kita sadari bahwa kebijakan-kebijakan Sultan selalu berorientasi kerakyatan. Kecil kemungkinan Ia akan mencari keuntungan pribadi. Karena segala kemewahan dan kekuasaan sudah dimilikinya semenjak Ia pertama kali melihat dunia. Bahkan mungkin sebelum Ia membuka mata. Terlahir di atas piring emas, itulah pribahasa yang saya rasa tepat untuk menggambarkan jalan hidup seorang Raja.

Yogyakarta, 12 Maret 2015

6 komentar:

  1. Wah masih kental ya kebudayaan di Jogja:') Salut banget yang masih bisa mempertahankan keberadaan adat istiadatnya di tengah jaman yang kian menggerus moral bangsa....... Aku keturunan orang Jogja tapi ke Jogjanya cuma pas bayi, jadi pengen kesana lagi deh huhuhu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya aslinya ponorogo mas, tapi salut banget ama jogja, ditengah banyaknya pendatang yang datang ke jogja, jogja tetap dapat mempertahankan budaya identitasnya

      Hapus
  2. Makanya Jogja disebut daerah istimewa ya

    BalasHapus
  3. salah satu contoh efek positif pemerintahan semi otoriter.

    BalasHapus